Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Maret 29th, 2012

MY PRETY FIRST DOUGHTER

MY PRETY  FIRST DOUGHTER

Read Full Post »

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam kehidupan, manusia selalu berhubungan erat dengan berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi adalah semua aspek atau kajian yang berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan serta roda pergerakan secara material. Namun demikian dalam kajian yang lebih luas, aktivitas ekonomi ini lantas memberikan relevansi yang kuat terhadap pola interaksi individu yang ada di dalamnya. Sehingga secara singkat dalam implikasinya ekonomi membawa pada suatu kajian yang berhubungan dengan aktivitas manusia dalam upaya memenuhi dan mengorganisir berbagai kebutuhan hidupnya.
Salah satu aktivitas ekonomi yang erat dengan kehidupan manusia adalah keberadaan pasar. Sejarah terbentuknya pasar melalui evolusi yang panjang, hal ini bermula dari upaya seseorang untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pada awalnya kebutuhan manusia masih terbatas pada masalah pangan saja, sehingga masih dapat dipenuhi sendiri dimana pertukaran barang hanya terbatas pada lingkungan di sekitarnya. Pada tahap berikutnya, kebutuhan mulai berkembang manusia mulai mengadakan pertukaran barang yang lebih luas lingkungannya dengan mencari atau menemui pihak-pihak yang saling membutuhkan. Selanjutnya tahapan tersebut mulai berkembang sejalan dengan intensitas kebutuhan manusia yang semakin kompleks, hal ini ditandai dengan bertemunya manusia yang saling membutuhkan barang di suatu tempat. Tempat yang disepakati untuk bertemu tersebut kemudian disebut sebagai pasar.
Seiring dengan perkembangan zaman peranan pasar menjadi sangat penting karena melalui pasar kebutuhan seseorang bisa terpenuhi dengan cepat. Perkembangan pasar akan selalu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Di sisi lain keberadaan pasar tidak dapat dipisahkan dari suatu tradisi, kondisi ini terlihat di dalam pasar Sekaten di Surakarta. Pasar sekaten diadakan sebagai perwujudan warisan budaya dari nenek moyang yang masih dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang. Sekaten identik dengan pasar malam dan tempat hiburan untuk rakyat. Hal ini merupakan suatu kegiatan besar kerajaan yang menjadi magnet bagi rakyat yang mengunjunginya.
Asal usul sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama gamelan pusaka Kyai Sekati milik Kerajaan Demak. Gamelan sendiri adalah media hiburan yang digemari pada saat itu, sehingga Sunan Kalijaga memanfaatkan gamelan dan tetabuhan yang dimainkan di halaman Masjid Agung untuk menarik perhatian masyarakat. Dengan adanya tetabuhan itu masyarakat berbondong-bondong datang untuk menikmati hiburan. Sementara itu di sela-sela menikmati gamelan, masyarakat diberikan ceramah-ceramah ringan mengenai Islam dan pengenalan ajaran-ajaran Islam yang dikemas dengan materi yang sederhana dan mudah dimengerti, mengingat Islam pada waktu itu adalah agama baru yang sedang berkembang.
Dengan adanya keramaian ini, banyak masyarakat yang kemudian berjualan di sekitar halaman Masjid dan alun-alun. Tradisi yang rutin digelar setiap bulan Maulud membawa masyarakat berjualan di sekitar masjid dan kemudian berkembang menjadi suatu kegiatan besar yang bisa dikatakan mirip dengan arena pasar. Namun masyarakat di kelurahan Baluwarti khususnya dan masyarakat Surakarta pada umumnya biasa menyebut dengan pasar sekaten. Pasar sekaten merupakan suatu peristiwa tradisional yang sangat populer serta senantiasa menarik perhatian puluhan ribu pengunjung yang tidak hanya datang dari sekitar daerah Keraton Kasunanan Surakarta akan tetapi juga dari tempat-tempat yang jauh seperti Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, dan Klaten. Adapun waktu pelaksanaannya bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tanggal 5 sampai dengan 12 Rabiul Awal. Dalam perhitungan kalender Jawa jatuh pada tanggal 5 sampai dengan 12 Maulud.
Pasar Sekaten adalah sebuah konstruksi yang merupakan perpaduan antara berbagai unsur yaitu politik, social, ekonomi, budaya dan religi. Sebagai sebuah pasar maka terdapat sebuah mekanisme dagang yang awalnya hanya memenuhi kebutuhan bagi orang-orang yang datang untuk mendengarkan tetabuhan gamelan dan dalam upaya penyebaran agama Islam. Namun Sampai saat ini,kenyataanya pasar sekaten masih tetap bertahan. Kendati merupakan pasar musiman, namun setiap tahun keberadaanya masih dinantikan dan diharapkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena keterkaitan yang kuat antara pasar sekaten dengan tradisi sekaten itu sediri. Pasar sekaten akan tetap ada atau bertahan selama tradisi sekaten tetap ada dan berkembang dalam masyarakat Surakarta. Meruntut dari sejarahnya Pasar sekaten muncul karena ketertarikan masyarakat terhadap tradisi sekaten. Ketika masa berkumpul dalam suatu wilayah atau lokasi, maka yang terjadi adalah muncul kebutuhan dan rasa saling membutuhkan yang terasosiasikan dalam wujud pasar sekaten .
Awalnya pasar Sekaten hanya menyediakan komoditas yang dikonsumsi anggota masyarakat pada saat berkumpul untuk mendengarkan gamelan yang ditabuh yaitu telur amal dan kinang (sirih), kemudian berkembang dengan penyediaaan komoditas yang sejalan/sesuai dengan makna kegiatan sekaten itu sendiri yaitu pecut (cambuk), golekkan (boneka) atau celengan (benda tempat menabung uang) sebagai barang souvenir. Barang-barang tersebut adalah perumpamaan (jawa: sanepa). Pecut atau cambuk adalah gambaran bahwa hidup harus rela dijalani dengan penuh ketaatan dengan segenap risikonya. Golekan atau boneka adalah perumpamaan nilai-nilai humanisme universal. Bahwa cinta dan kasih sayang kepada sesama harus menjadi yang utama di atas segalanya. Celengan atau tabungan adalah perumpamaan bahwa jika ingin hidup bahagia di akherat kelak ,orang harus senantiasa menabung kebaikan sejak dini. Dalam hal ini yang memegang peranan penting dalam pergerakan pasar tersebut adalah dari pihak kraton. Namun seiring dengan berjalannya waktu terjadi mekanisme dagang dalam pasar sekaten tersebut telah mengalami perubahan dan pergeseran pemegang kendali dan kontrol sosial pasar sekaten tidak hanya di tangan kraton, tetapi sudah mulai bergerak pada pengendali yang berasal dari investasi ( dalam hal ini EO ) dan tak lepas pula dari campur tangan Pemerintah Kota Surakarta.
Pola dan struktur pasar yang sudah terorganisir dengan baik serta membentuk sebuah sistem jaringan sosial dan tradisi yang menguntungkan sehingga menjadi salah satu hal yang menyebabkan pasar sekaten terus diminati dan akhirnya tetap terjaga eksistensinya sampai saat ini. Kebutuhan masyarakat akan sebuah hiburan yang terbungkus dalam media dakwah / religi nyatanya memberikan andil yang besar dalam menarik animo masyarakat berkunjung dalam pasar tersebut. Pedagang, yang mampu melihat pasar sekaten sebagai pangsa yang menguntungkan pun ikut terlibat dalam keberlangsungan pasar sekaten tersebut. Pedagang lantas menetapkan mekanisme kontrol serta pola aktivitas dagang yang sudah tersistem. Selain itu eksistensi raja sebagai pemegang kuasa dan kendali atas pasar ini pun ditunjukkan sebagai wujud kontrol sosial sebuah birokrasi atas pasar yang terbentuk atau dibentuk oleh masyarakat. Pemerintah daerah pun juga ikut memberikan kontribusi besar dalam terselenggaranya serta bertahannya pasar sekaten tersebut. Melalui penarikan retribusi kepada pada pedagang sehingga pemerintah memberikan pe-legal-an dan perizinan dalam terselengaranya pasar sekaten.
Terdapat suatu jaringan keterlekatan atau ketertambatan yang kuat antara pasar sekaten, birokrasi/politik,religi dan budaya. Keterlekatan inilah yang sebenarnya menjadi dasar berfugsinya masing-masing peranan dalam rangka mewujudkan keberlangsungan pasar sekaten. Granovetter menjelaskan keterlekatan ini erat kaitannya dengan jaringan hubungan sosial, yang merupakan rangkaian jaringan hubungan yang teratur antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Keterlekatan ini dapat tercermin dalam kenyataan bahwa pasar sekaten tetap ada karena adaya kuasa politik raja dalam upaya penyampaian dakwah islam yang didukung oleh kebertahanan budaya / tradisi sekaten itu sendiri. Ketertarikan masyarakat akan tradisi sekaten inilah yang menjadi salah satu hal yang menyebabkan pasar sekaten tetap bertahan. Ketika pasar sekaten tersebut beroperasi dalam bulan yang berbeda maka pasar tersebut tidak akan dapat mempertahankan ciri khasnya sebagai sebuah pasar yang lengkap dengan unsur politik, agama, ekonomi dan budaya.
Keterlekatan inilah yang membentuk jaringan yang bersifat sentralistik. Artinya terdapat sebuah pola yang mengatur bagaimana jaringan tersebut beroperasi dan bekerja dalam lingkaran yang sudah disepakati masing-masing . atas dasar berbagai hal tersebut di atas, maka penelitian ini kemudian diarahkan untuk mengetahui eksistensi pasar sekaten dalam hubungannya dengan kultur sekaten dan prinsip keberlangsungan sebagai sebuah sistem jaringan yang menggunakan ukuran keterlekatan / embededness. Selanjutnya penelitian ini akan dikembangka dengan mengambil judul, “ PASAR SEKATEN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS (studi fenomenologi sekaten di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Tahun 2012 ).”
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Mengapa pasar sekaten tetap bertahan sampai saat ini?
2. Bagaimana pasar sekaten diorganisir sehingga tetap bertahan ?
3. Bagaimana kaitan pasar sekaten dengan kultur “ sekaten “ tersebut?

C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menyebabkan kebertahanan pasar sekaten sampai saat ini
2. Untuk mengetahui sistem organisir pasar sekaten sehingga dapat bertahan sampai saat ini
3. Untuk mengetahui bagaimana pola atau kaitan pasar sekaten dengan kultur “ sekaten “ itu sendiri

D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Untuk mengetahui dan menerapkan kajian yang berhubungan dengan teori embeddedness
b. Untuk mengaplikasikan teori-teori sosiologi ekonomi
2. Manfaat praktis
a. Untuk memberikan pengetahuan tentang penataan pasar yang lebih terorganisir sehingga tidak membawa dampak buruk terhadap kraton Surakarta
b. Sebagai pertimbangan atau masukan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi pasar bagi pemerintah kota Surakarta

BAB II
LANDASAN TEORI

A. KERANGKA TEORI
1. Pasar
Sejak masa prasejarah manusia telah menyelenggarakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup utamanya. Adapun yang menjadi perkembangan ekonomi pada awalnya hanya bersumber pada problem untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya sudah berlangsung sejak manusia itu ada. Salah satu kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan mnusia adalah membutuhkan pasar sebagai sarana pendukungnya. Hal ini didasari atas dorongan faktor perkembangan ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan.
Munculnya pasar menurut Nastiti (2003:60) adalah tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kelebihan produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan tempat untuk menjualnya. Selain itu pemenuhan kebutuhan akan barang-barang membutuhkan tempat yang praktis untuk mendapatkan barang baik dengan menukar atau membeli. Adanya kebutuhan inilah yang menyebabkan munculnya tempat berdagang yang disebut pasar. Alasan tersebut yang melatarbelakangi manusia membutuhkan pasar sebagai tempat untuk memproleh barang atau jasa yang diperlukan, tetapi tidak mungkin masyarakat dapat menghasilkan sendiri. Lebih jauh Nastiti menjelaskan komponen-komponen pasar antara lain lokasi, bentuk fisik, komoditi, produksi, distribusi, transportasi, transaksi serta rotasi. Lebih jauh Mahendara (2007:83) menjelaskan bahwa pasar muncul sebagai pusat tukar menukar, perdagangan sebagai kegiatan tukar menukar yang sebenarnya, dan uang sebagai alat penukarnya.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial mengartikan pasar adalah institusi yang memungkinkan terjadinya pertukaran melalui tawar-menawar atau pelelangan. Institusi ini memainkan peran krusial dalam mengalokasikan sumber daya dan mendistribusikan penghasilan di hampir semua perekonomian, serta membantu menentukan distribusi pengaruh politik, sosial dan intelektual (Kuper, 2000: 609). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasar adalah tempat berjual-beli, pekan (Moeliono, 2005: 833). Dalam sosiologi ekonomi, pasar diartikan sebagai salah satu lembaga paling penting dalam institusi ekonomi yang menggerakkan dinamika kehidupan ekonomi, berfungsinya pasar tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan oleh pembeli dan pedagang. Aspek yang tidak kalah menarik dalam pasar adalah aspek ruang dan waktu serta aspek tawar-menawar yang terjadi di pasar (Damsar, 1997: 101). Pasar adalah tempat dimana terjadinya interaksi antara penjual dan pembeli (Chourmain: 1994: 231). Pasar merupakan ciri pokok dari jalinan tukar menukar yang menyatukan seluruh kegiatan ekonomi (Belshaw: 1989:89). Pasar merupakan pranata penting dalam kegiatan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Dari beberapa pengertian tersebut, pasar diartikan sebagai institusi ekonomi yang berperan dalam pertukaran ataupun tempat transaksi jual beli yang dilakukan oleh pembeli dan pedagang.
Dalam ilmu ekonomi mengenal dua kegiatan ekonomi yaitu ekonomi subsisten dan ekonomi pasar. Ekonomi pasar terjadi akibat terciptanya hubungan antara dua pihak karena adanya penawaran dan permintaan (Chourmain: 1994:31). Ekonomi pasar mengandung pengertian suatu perekonomian dimana barang yang diperdagangkan terpecah-pecah menjadi transaksi dari orang ke orang, yang masing-masing tidak ada hubungan sebelumnya dengan jumlah yang sangat besar (Laba. 1979: 3). Ekonomi pasar dapat diartikan sebagai suatu kegiatan perekonomian yang terdapat hubungan antara penawaran dan permintaan, dimana terpecah-pecah menjadi transaksi dari orang ke orang yang tidak memiliki hubungan sebelumnya. Ekonomi pasar memiliki ciri khas, menurut Soemardi (1977: 53) antara lain:
1. Harga barang tidak pasti, orang dapat tawar menawar
2. Barang beralih dari pedagang yang satu kepedagang yang lain berkali-kali sebelum akhirnya jatuh ketangan konsumen.
3. Adanya hubungan utang piutang yang komplaks antara pedagang tersebut.
4. Barang dagangan sedikit.
Adapun syarat-syarat terbentuknya pasar adalah sebagai berikut:
1. Ada tempat untuk berniaga
2. Ada barang dan jasa yang akan diperdagangkan
3. Terdapat penjual barang tertentu
4. Adanya pembeli barang
5. Adanya hubungan dalam transaksi jual beli
(http://id.shvoong.com/business-management/2003665-pengertian-pasar/ di Akses tanggal 27 Januari 2012)
Pasar sekaten terbentuk dibentuk sebagai tempat untuk berdagang barang dan jasa. Beberapa aktor yang terlibat dalam aktivitas perdagangan ataupun transaksi jual beli di Pasar Sekaten adalah para pedagang dan pembeli.
2. Pasar Sekaten
Pasar menurut transaksinya dapat dibedakan menjadi pasar tradisional dan pasar modern dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar). Pasar tradisional adalah pasar yang bersifat tradisional dimana para penjual dan pembeli dapat mengadakan tawar menawar secara langsung dan pada umunya barang yang di jual belikan adalah barang untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sedangkan Pasar modern adalah pasar yang bersifat modern dimana barang-barang diperjual belikan dengan harga pas dan dengan layanan sendiri. Tempat berlangsungnya pasar ini adalah di mal, plaza, dan tempat-tempat modern lainnya.
Pasar Sekaten pada awalnya dapat dikatakan sebagai pasar tradisional karena merupakan bagian dari sosial budaya yang sudah mengakar secara kuat oleh masyarakat Surakarta dan dikenal pula oleh masyarakat secara luas. Pasar tradisional sebagai tempat terjadinya transaksi jual-beli, yang ditandai adanya proses tawar-menawar yang dilakukan oleh pedagang dan pembeli. Pasar Sekaten dapat diartikan sebagai institusi ekonomi yang berperan dalam pertukaran tempat jual beli yang dilakukan oleh pembeli dan pedagang bertempat di Alun-alun utara Keraton Surakarta, pelaksanaannya bersamaan dengan perayaan Grebeg Maulud Nabi.
Pasar menurut Damsar (1997: 101) ada aspek yang tidak kalah menarik, yaitu aspek ruang dan waktu. Perayaan Upacara Sekaten yang diikuti dengan adanya pasar Sekaten, tidak dapat dilepaskan dari kedua aspek tersebut. Pemanfaatan aspek ruang dapat dilihat dalam pelaksaannya pasar Sekaten ditempatkan di Alun-alun Keraton Surakarta. Sebagaimana yang diketahui masyarakat, alun-alun merupakan ruang publik untuk mengakomodasi massa dan masyarakat. Pemanfaatan waktu dalam pasar Sekaten dapat dilihat dari pelaksanaannya bersamaan dengan ritual social dan adat-budaya yaitu Grebeg Maulud. Pemanfaatan aspek ruang dan waktu inilah yang membuat pasar Sekaten tetap bertahan dan dinantikan masyarakat setiap tahun.
Eksistensi dari sebuah pasar tradisional merupakan suatu bukti adanya kekuatan sosial yang hidup dan dipertahankan oleh pelaku-pelakunya. Kehadiran pasar Sekaten memberikan karakteristik tersendiri dalam pasar tradisional dan karakteristik masyarakat Surakarta, karena pasar dimanapun memiliki waktu tertentu dimana pelaksaanannya hanya setahun sekali pada saat Grebeg Mulud yang paling ramai pengunjung dan pada saat itulah kegiatan perdagangan pasar Sekaten ikut meramaikan ritual sosia dan adat budaya masyarakat kota Surakarta. Seperti halnya pasar tradisional, dalam pasar Sekaten akan ditemukan jaringan sosial yang diartikan sebagai suatu pertimbangan untuk melakukan aktivitas perdagangan ataupun transaksi-transaksi berikutnya. Sebagaimana relasi sosial pada umumnya, yang hampir selalu melibatkan para aktor-aktor perdagangan.
Dalam aktivitas perdagangan, pedagang adalah orang atau institusi yang memperjualbelikan produk atau barang, kepada konsumen baik secara langsung mapun tidak langsung.dalam ekonomi, pedagang dibedakan menurut jalur distribusi yang dilakukan, yaitu: pedagang distributor (tunggal), pedagang (partai) besar, dan pedagang eceran. Sedangkan dalam sosiologi ekonomi membedakan pedagang berdasarkan penggunaan dan pengelolaan pendapatan yang dihasilkan dari perdagangan dan hubungan ekonomi keluarga, sebagai berikut (Damsar, 1997:106):
a. Pedagang profesional yaitu pedagang yang menganggap aktivitas perdagangan merupakan pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber utama dan satu-satunya bagi ekonomi keluarga.
b. Pedagang semi profesional adalah pedagang yang mengakui aktivitasnya untuk memperoleh uang tetapi pendapatan dari hasil perdagangan merupakan sumber tambahan bagi ekonomi keluarga.
c. Pedagang subsistensi merupakan pedagang yang menjual produk atau barang dari hasil aktivitasnya atas substensi untuk memenuhi ekonomi rumah tangga.
d. Pedagang semu adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan karena hobi atau untuk mendapatkan suasana baru atau mengisi waktu luang.
Para pedagang yang sering berdagang di Pasar Sekaten adalah pedagang seperti disebutkan di atas. Para pedagang di pasar Sekaten ada yang dikategorikan pedagang professional karena memang keseharian berdagang dan merupakan sumber pendapatan utama bagi ekonomi keluraga. Sebagian dari mereka juga pedagang semi profesional yang mendapatkan hasil berdagang untuk sumber tambahan keluarga, dan pedagang substensi yang menjual dari aktivitasnya. Dan pedagang semu yang hanya memanfaatkan situasi dan sebagai hobi.
Aktor dalam perdagangan, selain ada pedagang juga ada pembeli. Pembeli dalam sosiologi ekonomi dapat diklasifikasikan atas beberapa tipe (Damsar, 1997: 103):
a. Pengunjung yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar tanpa mempunyai tujuan untuk melakukan pembelian terhadap sesuatu barang atau jasa. Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan waktunya di pasar.
b. Pembeli yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud untuk membeli suatu barang atau jasa, tetapi tidak mempunyai tujuan ke (di) mana akan membeli.
c. Pelanggan yaitu mereka yang datang ke lokasi pasar dengan maksud membeli sesuatu barang atau jasa dan punya arah tujuan yang pasti ke (di) mana akan membeli. Seseorang yang menjadi pembeli tetap dari seorang penjual tidak terjadi secara kebetulan, tetapi melalui proses interaksi sosial.
Pembeli dalam dalam perdagangan di Pasar Sekaten diklasifikasikan mejadi 3, yaitu: pengunjung, pembeli dan pelanggan. Pengunjung dari Pasar Sekaten adalah orang-orang yang hanya ingin melihat aktivitas di pasar Sekaten tanpa memiliki tujuan ingin membeli dan mengunjungi pasar untuk rekreasi. Pembeli di pasar Sekaten ini adalah mereka yang datang dengan maksud membeli barang atau jasa. Pelanggan Pasar Sekaten adalah masyarakat yang setiap tahun selalu datang pada saat Pasar perayaan Sekaten ini dibuka.
3. Pendekatan Keterlekatan
Pasar Sekaten memiliki hubungan ekonomi, sosial, budaya, agama dan politik. Artinya ada suatu perilaku yang saling berhubungan dan melekat pada jaringan sosial dalam pasar Sekaten di Surakarta. Konsep keterlekaatan dapat digunakan untuk menjelaskan kebertahanan pasar Sekaten di Surakarta. Konsep keterlekatan menurut Granovetter “merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang belangsung diantara para aktor”( Wijaya, 2007 : 68).
Keterlekatan merujuk ide bahwa aktor sosial hanya dapat dipahami dan dinterpretasikan ketika berada dalam hubungan relasional, dalam konteks institusional, dan kultural masyarakat tempatnya berada. Dalam hal ini, seorang aktor tidak dapat dilihat sebagai pembuat keputusan yang otonom dalam menggunakan utilititas yang dimilikinya (Haryanto, 2011: 92). Dalam pasar Sekaten dapat dilihat peran aktor-aktor yang terlibat, terikat dalam suatu hubungan relasional, dalam institusional dan kultur masyarakat. Konteks-konteks hubungan tersebut tidak dapat dilepaskan antara kenteks yang satu dan lainnya. Pasar Sekaten dapat terbentuk dan bertahan karena ada hubungan relasional antara Keraton Surakarta, Pemerintah Kota Surakarta, penyelenggara pasar Sekaten (Event Organizer) serta partisipasi dan antusias masyarakata kota Surakarta terhadap adanya Pasar Sekaten. Melihat kenyataan ini, Keraton Surakarta maupun Pemerintah Kota Surakarta tidak dapat dilihat sebagai pembuat keputusan atas utilitas yang dimilikinya.
Pendekatan keterlekatan memprioritaskan kondisi-kondisi yang berbeda ketika tindakan sosial dilakukan. Pendekatan keterlekatan melihat perilaku sebagai transendensi posisi sosial dan fungsional seorang aktor tempat norma dan nilai sangat terinternalisasi ke dalam individu dan menjadi kondisi-kondisi yang melandasi perilaku (Hariyanto, 2011: 92). Keterlekatan antara tradisi dan keberadaan pasar Sekaten merupakan sebuah nilai dan norma yang telah terinternalisasi dalam masyarakat Surakarta, posisi-posisi sosial atau peranan aktor yang terlibat dalam kegiatan tersebut masing-masing memiliki fungsi. Inilah yang melandasi Pasar Sekaten tetap bertahan di masyarakat Kota Surakarta.
Granovetter dalam “The Old and The New Economic Sociology” membedakan dua bentuk keterlekatan (Damsar, 2011: 146), yaitu :
a. Keterlekatan Relasional
Keterlekatan relasional merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Konsep “disituasikan secara sosial” bermakna tindakan ekonomi terjadi dalam suatu aktivitas yang berhubungan dengan orang lain atau dikaitkan dengan individu lain (Damsar, 2011:146). Aktivitas pasar Sekaten Surakarta dapat dilihat sebagai tindakan ekonomi antara penjual dan pembeli yang melibatkan aspek sosial, budaya, agama, dan politik dalm kehidupan masyarakat.
Hubungan pelanggan terjadi karena adanya informasi asimetris (ketidakseimbangan informasi) antara penjual dan pembeli sehingga pembeli perlu melakukan suatu klientitasi, yaitu suatu proses resiprokal dalam hubungan yang simetris, egaliter, dan oposisional. Ketika pembeli menghadapi informasi yang bersifat tidak pasti, kompleks, irregular, dan sulit maka ia berusaha mengatasi persoalan tersebut melalui konstruksi hubungan langganan dengan penjual. Melalui hubungan langganan ini, pembeli bisa memutus mata rantai informasi yang asimetris tersebut. Hubungan langganan bermula dari pencarian informasi terhadap suatu barang atau jasa (Damsar, 2011: . 147). Ketidakseimbangan informasi sering terjadi dalam pasar tradisional, Pasar Sekaten yang masih menggunakan konsep pasar tradisional dan informasi tentang harga terkadang asimetris tidak seperti yang diinginkan pembeli. Konsep seperti ini sudah mulai ditinggal, kebanyakan pedagang sudah menentukan harga. Tetapi hubungan langganan sulit diwujudkan, mengingat pasar ini hanya setahun sekali.
Dalam pasar tidak sempurna, informasi yang pasti dan akurat ternyata tidak mudah untuk memperolehnya. Oleh sebab itu, pembeli berusaha mencari penjual yang mau berbagi informasi dengannya karena dengan komunikasi tersebut maka kedua belah pihak dapat memperoleh kepastian dan kepercayaan yang kiranya dapat menguntungkan kedua belah pihak (Damsar, 2011: 147). Keberadaan pasar Sekaten tidak mudah untuk memperoleh informasi harga bagi para pembeli. Tetapi keterlekatan relasional yang dapat dilihat adalah hubungan pedagang dengan pihak-pihak penyelenggara untuk mendapatkan tempat berdagang di pasar Sekaten. Keterlekatan relasional ini yang membuat para aktor didalamnya tetap bertahan mengadakan pasar Sekaten dan ikut berpartisipasi.
Ketika hubungan pembeli dan penjual telah sampai pada tahap berbagi informasi yang pasti dan akurat serta melibatkan kepercayaan maka hubungan tersebut mengental pada tahap hubungan hubungan pelanggan (Damsar, 2011: 148). Hubungan antara aktor-aktor dalam pasar Sekaten tidak hanya meliputi tindakan ekonomi, tetapi meluas ke dalam aspek sosial, budaya dan politik. Dalam berbagi informasi tersebut keduanya saling mempengaruhi sesuai dengan informasi dan argumentasi yang mendukungnya .
b. Keterlekatan Struktural
Keterlekatan struktural adalah keterlekatan yang terjadi dalam suatu jaringan hubungan yang lebih luas, bisa merupakan institusi atau struktur sosial. Konsep institusi sosial (social institution), Dengan demikian struktur sosial adalah suatu pola hubungan atau interaksi yang terorganisir dalam suatu ruang sosial. Struktur sosial merupakan tuntutan sosial dalam berinteraksi dan berkelompok. Struktur sosial menyadarkan kita bahwa hidup ini dicirikan sebagai pengorganisasian dan stabil (Damsar, 2011: 149). Perayaan tradisi Grebeg Maulud selalu bersamaan dengan hadirnya pasar Sekaten. Pengadaan Grebeg Maulud dan Pasar Sekaten ini tidak terlepas dari suatu bentuk struktur sosial ataupu institusi sosial yang terlibat didalamnya. Tidak hanya sebuah bentuk pasar biasa, tetapi pasar Sekaten disini sebagai bentuk tradisi sosial budaya yang biasa disebut Sekaten, pada hakekatnya tradisi Sekaten dan pasar Sekaten ini adalah bentuk dari kearifan lokal masyarakat Surakarta yang pada awalnya tradisi ini berkaitan dengan islamisasi di Jawa. Pasar Sekaten sendiri berkaitan dengan beberapa pihak yang memiliki wewenang yang resmi, karena penyelenggaraannya tetap di bawah pengawasan Pemerintah Kota yang juga bekerja sama dengan pihak Keraton Surakarta.
Pemahaman tentang struktur sosial yang secara implisit konsep status atau posisi, sebab pola interaksi atau saling keterkaitan interaksi mengandung makna adanya hubungan antara dua orang atau lebih yang menyandang status atau posisi. Hubungan sosial yang dapat dilihat dalam pasar Sekaten yang saling berkaitan dengan institusi sosial, hubungan ini melibatkan asosiasi pedagang, Pemerintah Kota Surakarta dan Keraton Surakarta. Keterlekatan antara pedagang dengan pihak penyelenggara akan menentukan posisi dimana pedagang nantinya mendapat tempat berdagang.
4. Jaringan Sosial
Jaringan menurut Robert M. Z. Lawang merupakan terjemahan dari network, yang berasal dari dua suku kata net dan work. Net diterjemahkan dalam bahasa sebagai jaring, yaitu tenunan seperti jala, terdiri dari banyak ikatan antar simpul yang saling terhubung antar satu sama lain. Sedangkan kata work bermakna sebagai kerja. Gabungan kata net dan work, sehingga menjadi network, yang penekannya terletak pada kerja bukan pada jarring dimengerti sebagai kerja (bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti halnya jaring (net) (dalam Damsar, 2011: 157).
Jaringan yang pada umumnya digunakan oleh para sosiolog sangat luas dan mencakup baik pasar maupun hierarki sebagaimana dipahami oleh para ekonom. Jaringan didefinisikan organisasi formal di mana tidak ada sumber formal dari otoritas yang berdaulat, sementara yang lain memahami sebagai serangkaian hubungan atau aliansi informal di antara berbagai organisasi, yang masing-masing mungkin bersifat hierarkis tapi berhubungan satu dengan yang lain melalui hubungan-hubungan kontraktual vertikal. Jika memahami jaringan bukan sebagai tipe organisasi formal, tetapi sebagai modal sosial, akan terdapat wawasan yang lebih baik mengenai fungsi ekonomi jaringan tersebut. Dengan pandangan ini, jaringan merupakan hubungan moral kepercayaan. Jaringan diartikan sebagai sekelompok agen-agen individual yang berbagi norma-norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau norma-norma yang penting untuk transaksi-transaksi pasar biasa (Fukuyama, 2002: 324).
Studi jaringan sosial melihat hubungan antara individu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan. Simpul dilihat melalui aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan merupakan hubungan antar aktor tersebut (Damsar, 2011: 158). Keberadaan pasar Sekaten terdapat hubungan antar aktor didalamnya. Dengan bertahannya pasar Sekaten sampai sekarang membuktikan bahwa memang terdapat ikatan yang syarat dengan makna. Ikatan inilah yang dinamakan jaringan sosial dalam pasar Sekaten. Jaringan sosial ini terbentuk dari beberapa aktor, diantaranya adalah jaringan sosial dengan para pedagang, pemilik wahana hiburan, Pemerintah kota Surakarta, dan pihak Keraton Surakarta.
Jaringan sosial di Pasar sekaten mempermudah mengakses sumber daya dalam bentuk informasi tentang pelaksanaan Pasar sekaten. Kemampuan para aktor dalam menggerakkan sumber daya yang ada sangat ditentukan oeh jaringan sosial yang dimilikinya. Misalnya, disini tempat berlangsungnya pasar Sekaten adalah alun-aun Keraton Surakarta. Dengan sekejap alun-alun ditata sehingga menyerupai pasar yang terkapling-kapling. Dan untuk pelaksanaan pasar sekaten tahun ini, bangsal Sitihinggil juga dijadikan tempat berdagang. Untuk mendapatkan informasi tersebut, para pedagang yang ingin mendapat tempat berdagnag strategis harus memiliki jaringan sosial yang luas baik dengan pihak panitia penyelenggara, pihak Keraton Surakarta maupun Pemerintah kota Surakarta. Posisi strategis atau tidak akan menentukan keberlangsungan perdagangan di Pasar Sekaten.
Granovetter membedakan antara “ikatan kuat dan lemah”, ikatan kuat misalnya hubungan antara seseorang dan teman karibnya, dan ikatan lemah misalnya hubungan antara seseorang dan kenalannya. Ikatan lemah dapat menjadi sangat penting, seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah kelompok yang ikatannya sangat kuat dan akan kekurangan informasi tentang apa yang terjadi di kelompok lain ataupun masyarakat luas. Granoveter juga menegaskan bahwa ikatan yang kuat pun mempunyai nilai, misalnya orang mempunyai ikatan memiliki motivasi lebih besar untuk saling membantu dan lebih cepat untuk saling memberikan bantuan (Ritzer, 2011: 383). Bagi para aktor dalam Pasar sekaten yang memiliki ikatan kuat, maka memiliki potensi yang besar pula terhadap akses sumber daya tentang Pasar Sekaten.
Jaringan usaha yang berbasis pada aktivitas ekonomi, Granovetter menjelaskan adanya keterlekatan perilaku ekonomi dalam hubungan sosial dimana melalui jaringan sosial yang terjadi dalam kehidupan ekonomi. Pada tingkatan antar individu, jaringan sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan yang khas diantara sejumlah orang dengan sifat tambahan, yang ciri-ciri dari hubungan ini sebagai keseluruhan, yang digunakan untuk menginterprestasikan tingkah laku sosial dari individu-individu yang terlibat (Damsar, 1997: 43). Jaringan telah lama dilihat sebagai suatu hal yang sangat penting bagi keberhasilan bisnis. Fungsi jaringan-jaringan diterima sebagai suatu sumber informasi penting, yang sangat menentukan dalam mengeksploitasi peluang bisnis. Dalam pasar Sekaten, para pedagang terlihat sengaja membentuk jaringan untuk memperluas hubungan dengan para penyelenggara maupun dengan para pedagang di berbagai daerah.

B. PENELITIAN YANG RELEVAN
Ada satu sumber penelitian relevan yang digunakan oleh peneliti yaitu penelitian dari Yusroni, Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, Program Pascasarjana. Dia mengambil penelitian thesis dengan judul “Strategi Sosialisasi dan Pelaksanaan Program Sosialisasi Berbagai Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pasar dan Program Kerja Dinas Pengelolaan Pasar pada Pasar Tradisional di Kota Surakarta”,
Penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan berbagai cara yang ditempuh oleh Dinas Pengelolaan Pasar dalam melakukan sosialisasi dan mengkomunikasikan program kerjanya pada masyarakat. Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif berbentuk studi kasus mengambil lokasi di Dinas Pengelolaan Pasar Pemeritah Kota Surakarta. Data dalam penelitian ini berwujud berbagai catatan penting tentang strategi yang digunakan Dinas Pengelolaan Pasar dalam usahanya mensosialisasikan program kerja dan menjalin komunikasi dengan para pedagang dan pengunjung pasar. Data dalam penelitian ini terbagi dalam dua katagori, yaitu data tertulis dan data lisan. Data lisan diperoleh melalui wawancara baik secara aktif (tanya jawab) maupun pasif (mendapatkan keterangan secara lisan yang didapat dari pertanyaan-pertanyaan yang telah tertulis sebelumnya). Data tidak tertulis diperoleh dari berbagai dokumen kedinasan yang berkaitan dengan berbagai program kerja, strategi pelaksanaan program kerja, berbagai pelaporan hasil atas pelaksanaan program kerja tersebut. Analisis datanya menggunakan teknik analisis induktif dengan menggunakan anilisis kecukupan referensial dan trianggulasi sumber sebagai penguji keabsahan datanya. Setelah dilakukan analisis, diperoleh kesimpulan bahwa jalinan komunikasi yang terbangun antara pedagang dan pihak dinas belum dapat optimal dikarenakan intensitas sosialisasi yang sangat rendah, sementara alokasi dana untuk keperluan tersebut juga rendah. Sementara itu penulis juga menemukan bukti bahwa terdapat hambatan struktural berkaitan dengan pelaksanaan program kerja tersebut yang ditandai dengan pemisahan wewenang pengaturan antara Dinas Pengelolaan Pasar dan Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima. Implikasi atas temuan pada kasus Dinas Pengelolaan Pasar ini adalah bahwa program kerja Dinas Pengelolaan Pasar dilaksanakan melalui pendekatan bottom-up sementara kegiatan sosialisasi yang melibatkan pihak ketiga menggunakan pendekatan partnership untuk menanggulangi keterbatasan sumber daya tersebut. Penelitian ini memberikan gambaran bagi peneliti untuk mengetahui proses pengelolaan Pasar Sekaten.

C. KERANGKA BERPIKIR

Keraton Kasunanan Hadiningrat memiliki peran penting dalam membangun dan mentransfer nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Surakarta. Salah satu tradisi keraton yang lekat dalam kehidupan masyarakat terwujud dalam keberadaan Pasar Sekaten. Pasar sekaten diadakan sebagai perwujudan warisan budaya dari nenek moyang yang masih dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang. Berawal dari tradisi yang rutin digelar setiap bulan Maulud, kemudian berkembang menjadi suatu kegiatan besar yang menyerupai arena pasar. Keterkaitan yang kuat antara pasar sekaten dengan tradisi sekaten itu sediri membuat keduanya tetap bertahan dan berkembang dalam masyarakat Surakarta.
Pasar Sekaten merupakan perpaduan antara berbagai unsur yaitu politik, sosial, ekonomi, budaya dan religi. Masing-masing unsur tersebut membentuk jaringan sosial yang terorganisir, kemudian berkembang menjadi suatu bentuk keterlekatan atau ketertambatan yang kuat satu sama lain. Keterlekatan tersebut membentuk suatu sistem jaringan yang sentralistik, yang kemudian menjadi dasar berfugsinya masing-masing peranan dalam mendukung eksistensi Pasar Sekaten.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu terletak di Kelurahan Baluwarti kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Lokasi ini dipilih karena :
a. Tersedianya data yang relevan dengan kegunaan teoritis dan praktis.
b. Adanya keistimewaan karakteristik ( budaya, ekonomi, religi dan politik ) yang dimiliki oleh pasar Sekaten

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal, penyusunan desain penelitian, pengumpulan data, analisis data dan penulisan laporan. Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan, yaitu pada bulan Januari – Februari 2012

B. Jenis dan Strategi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk menggali dan memahami serta mendeskripsikan fenomena sosial tentang Pasar Sekaten di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta. Penelitian kualitatif memiliki sudut pandang naturalistik dan pemahaman interpretif tentang pengalaman manusia. Artinya dalam penelitian ini akan digali pengalaman manusia yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi yaitu pasar. Selain itu ada proses pemaknaan dan penafsiran yang berkaitan dengan pola dan mekanisme pasar dan bagaimana keterlekatan antara fungsi ekonomi, sosial, politik, budaya dan religi dalam mempertahankan eksistensi pasar sekaten.

2. Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan strategi penelitian fenomenologi. Fenomenologi bertujuan untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang ditempelkan padanya.
Studi fenomenologi ini dapat mempelajari semaksimal mungkin seorang individu yang menjadi informan, sehingga dapat memberikan pandangan yang lengkap mengenai masalah yang diteliti yaitu fenomena keterlekatan antara fungsi ekonomi, sosial, politik, budaya dan religi dalam mempertahankan eksistensi pasar sekaten. Hal ini akan membawa dampak pada data yang diperoleh lebih nyata dan dalam, sehingga dari data tersebut dapat dimaknai secara lebih mendalam, dan menghasilkan gambaran permasalahan yang tampak jelas. Selain itu individu yang dipilih menjadi informan dalam penelitian ini, akan memberikan informasi data yang penting dalam menemukan makna pasar sekaten.
Pasar Sekaten merupakan fenomena sosial yang muncul dalam masyarakat di lingkungan Keraton Kasunan Surakarta. Dalam penelitian ini untuk menangkap makna Pasar Sekaten, peneliti berusaha melihatnya dari pandangan para pedagang, pengunjung serta para tokoh masyarakat dan tokoh Keraton yang terkait dengan kegiatan itu sendiri.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data Primer
Sumber data primer diperoleh secara langsung dari lapangan melalui observasi dan wawancara dengan informan. Observasi dilakukan dengan mengamati peristiwa dan aktivitas-aktivitas masyarakat di lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat, tempat berlangsungnya Pasar Sekaten. Wawancara dilakukan secara langsung dari sumbernya yaitu informasi dari masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan.
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh dari buku referensi, buku-buku dari perpustakaan keraton Surakarta Hadiningrat, surat kabar, data-data dari Pemerintah Kota surakarta, internet dan berbagai dokumen yang terkait dengan Pasar Sekaten di lingkungan Kraton Kasunanan Surakarta.

D. Teknik Cuplikan

Dalam penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yang bersifat purposive. Peneliti melakukan seleksi terhadap informan. Peneliti memilih informan yang dianggap paling tahu dan cukup memahami tentang Pasar Sekaten di lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat. Misalnya informan sudah cukup lama mengikuti kegiatan Pasar Sekaten sehingga dapat memberikan informasi dengan cara menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Penentuan informan dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak-pihak yang memiliki banyak informasi mengenai Pasar Sekaten terebut. Kemudian dari yang dipilih tersebut dijadikan sebagai sumber data yang akan membantu dalam mengungkap permasalahan tentang Pasar Sekaten di lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari jenis data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda. Metode observasi dalam penelitian ini yaitu observasi berperan pasif. Observasi bisa dilakukan secara langsung dengan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Dalam penelitian ini menggunakan observasi berperan pasif, yang digunakan untuk mengamati tentang aktivitas atau perilaku informan. Pengamatan ini dilakukan di tempat berlangsungnya Pasar Sekaten yaitu di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta.
2. Wawancara
Jenis data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif berupa manusia yang dalam posisi sebagai nara sumber (informan). Untuk mengumpulkan informasi dari jenis data ini, peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur atau wawancara mendalam dalam berbagai situasi. Ini bertujuan untuk menciptakan suasana akrab antara peneliti dan informan. Keakraban ini dilakukan guna mendapatkan data yang punya kedalaman dan rinci. Di dalam proses wawancara selain mendengarkan dan menulis, peneliti juga dapat merekamnya tetapi harus meminta ijin terlebih dahulu pada informan demi kelancaran penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan orang-orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam Pasar Sekaten.
3. Dokumen
Dokumen dilakukan untuk mendapatkan fakta dan data. Dokumen ini berupa laporan monografi Karaton Kasunanan Surakarta, artikel-artikel dari media massa, foto dari kegiatan masyarakat dalam Pasar Sekaten.

F. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan model analisis interaktif. Model analisis ini terdapat empat (4) langkah diantaranya pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi. Untuk bentuk sederhananya dapat dilihat dalam bagan berikut:

Dari gambar di atas berarti peneliti dalam mengumpulkan data selalu membuat reduksi data dan sajian data yang berupa catatan lapangan berupa data yang telah didapat. Reduksi data disini berupa pokok-pokok penting atau pemahaman segala peristiwa yang dikaji supaya peristiwa menjadi lebih jelas dipahami setelah itu ditarik kesimpulannya tetapi dalam hal ini masih mengacu pada pengumpulan data. Untuk merefleksi kembali apa yang telah ditemukan dan digali dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model interaktif sebab dalam aktivitasnya dilakukan dengan cara interaksi dengan orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam Pasar Sekaten. Model interaktif ini dilakukan agar dalam mengambil kesimpulan akhir nanti dapat merefleksikan kembali dari data-data yang didapat sebelumnya sehingga penelitian yang dilakukan benar-benar dapat menjelaskan fenomena yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat (fenomena sebenarnya yang terjadi pada Pasar Sekaten).

G. Validitas Data

Untuk meningkatkan kesahihan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi data, yaitu data/informasi dari satu pihak harus dicek kebenarannya dengan membandingkan data dari sumber lain. Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data (sumber). Teknik triangulasi data (triangulasi sumber) merupakan cara peningkatan validitas yang dilakukan dengan menggunakan beberapa sumber data untuk mengumpulkan data yang sama. Jadi keabsahan data yang diperoleh dalam penelitisn ini melalui wawancara dengan beberapa sumber yang berbeda.
Triangulasi sumber memanfaatkan berbagai jenis sumber data yang berbeda untuk menggali data yang sejenis tekanannya pada perbedaan sumber data bukan pada teknik pengumpulan data cara menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan data yang di dapat bisa lebih teruji kebenarannya. Dalam penelitian ini triangulasi sumber dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada beberapa informan yang mengetahui permasalahan yang diteliti serta menggunakan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

H. Prosedur Kegiatan Penelitian

Prosedur kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi empat tahap, yaitu: persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian. Untuk lebih jelas akan diuraikan sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Mengajukan judul penelitian kepada pembimbing.
b. Mengumpulkan bahan/sumber materi penelitian.
c. Menyusun proposal penelitian.
d. Mengurus perizinan penelitian.
e. Menyiapkan instrumen penelitian/alat observasi.
2. Pengumpulan Data (Observasi)
a. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan teknik analisis dokumen.
b. Membuat field note.
c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
3. Analisis Data
a. Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai proposal penelitian.
b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di recheckkan dengan temuan di lapangan.
c. Melakukan verifikasi dan pengayaan dengan pembimbing.
d. Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
4. Penyusunan Laporan Penelitian
a. Penyusunan laporan awal.
b. Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan orang yang cukup memahami penelitian.
c. Melakukan perbaikan laporan sesuai hasil diskusi
d. Penyusunan laporan

DAFTAR PUSTAKA

Belsaw, Chrils. 1991. Tukar Menukar Pasar Tradisional dan Pasar Modern. Jakarta: Gramedia.
Chaurmain, Imam dan Prihain. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Depdikbud.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Damsar. 2011. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

David B. Brinkerhoff dan Lynn K. White , Sociology ( St Paul : Wst Publishing Company. 1988), hlm.585

Fukuyama, Francis. 2002. Trust (Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran). Yogyakarta: Qalam.

Gerzt, Cliffort. 1977. Penjaja Dan Raja. Jakarta: PT Gramedia.

Handipaningrat, KRT.. Tt. Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.

Haryanto, Sindung. 2011. Sosiologi Ekonomi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

James W. Vander Zanden, The Social Experience, An Introduction to Sociology, (USA: McGraw Hill, 1990), second edition, h.20.

Johnson, Doyle Paul. 1986 . Teori Sosiologi klasik dan Modern Jilid II. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat.1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kuper, Adam dan Jessica Kuper .2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Buku Dua: Machiavelli-world system). Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Lexy Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Moeliono, Anton (penyunting). 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar Di Jawa Masa Mataram Kuno Abad VIII-IX Masehi. Jakarta: PT Dunia Pustaka.

Poerwadarminto, W.J.S.. 2003. Ensiklopedi Umum. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahmawati Agustina Noor. 2002. Sekaten Tahun Dal dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat Surakarta. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

Rina Mayasari. 2007. Kajian struktur dan nilai simbolis cerita rakyat upacara tradisi sekaten di keraton kasunanan Surakarta. Surakarta: UNS Press

Ritzer, George dan Duglas Godman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Sutarjo, I.. 1998. Nilai Simbolis dan Religius dalam upacara Tradisional Bersih Desa. Penelitian Mandiri: UNS.

Supanto. 1982. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Read Full Post »

Judul : La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite
Ingin Tahu Sejarah Seksualitas
Pengarang : Michel Foucault
Alih Bahasa :Rahayu S. Hidayat
Penyunting : Jean Couteau
Penerbit : Yayasan obor Indonesia
FIB Universitas Indonesia
Forum Jakarta – Paris
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : 208
ISBN : 978-979-461-669-7

BAGIAN SATU
KITA KAUM VICTORIAN
Pada bagian ini, Foucault menjelaskan dan kemudian menimbulkan keraguan terhadap hipotesis represif. Foucault memulai dengan menggambarkan perbedaan antara seksualitas abad ke-17, dimana seksualitas diatur secara kasar,cabul, tidak senonoh dan cukup longgar, dengan seksualitas abad ke-19, di mana seksualitas dibatasi dengan hati-hati, Seksualitas pindah ke rumah. Foucault berpendapat bahwa konsep seksualitas Victoria mempengaruhi kita hari ini.
Foucault menunjukkan bahwa represi seksualitas Victoria diperlakukan dan diperintahkan untuk menghilang, serta diperintahkan untuk diam, penegasan ketiadaan . Seperti logika menghentikan dipaksa untuk membuat beberapa konsesi seksualitas tidak sah. Kebebasan seksual hanya bias ditemui di ruang terpisah seperti rumah-bordil dan rumah sakit jiwa.
Represi adalah link mendasar antara kekuasaan, pengetahuan, dan seksualitas serta gangguan yang datang pada biaya yang cukup besar. Foucault berpendapat bahwa seks adalah tidak mudah diuraikan, tetapi dengan merekonstruksi represi kita bisa menganalisanya. Dengan kata lain, penindasan adalah faktor yang membawa seks ke dalam wacana sehingga kami dapat berbicara tentang hal itu. Dengan berbicara tentang seks, salah satu memiliki penampilan dari sebuah pelanggaran yang disengaja yang menempatkan pembicara, sampai batas tertentu, di luar jangkauan kekuasaan.
Foucault menunjukkan bahwa orang lain berpendapat bahwa represi bertepatan dengan perkembangan kapitalisme. Seks ditekan karena tidak sesuai dengan keharusan bekerja. Namun, Foucault percaya, hal yang penting adalah bukan faktor ekonomi, namun adanya wacana di mana seks, wahyu kebenaran, menjungkirbalikkan hukum global, proklamasi hari baru untuk datang, dan janji dari baru kebahagiaan yang dihubungkan bersama .
Foucault berencana untuk menjelajahi kesadaran diri individu sebagai subjek seksualitas. Dalam kata-katanya sendiri, Tujuan Foucault adalah untuk memeriksa kasus masyarakat yang telah keras menghukum dirinya sendiri karena kemunafikan selama lebih dari satu abad, yang berbicara verbosely keheningan sendiri, membutuhkan berusaha keras untuk berhubungan secara rinci hal-hal itu tidak tidak mengatakan, kekuasaan itu mencela latihan, dan janji-janji untuk membebaskan diri dari hukum-hukum daripada harus membuat fungsi saya ingin mengeksplorasi tidak hanya wacana ini tetapi juga akan yang menopang mereka dan maksud strategis yang mendukung mereka. .
Foucault menimbulkan sejarah, keraguan historis-teoretis, dan historis-politik kepada hipotesis represif. Foucault menulis bahwa tujuannya adalah ditujukan kurang menunjukkan kepada keliru dari pada meletakkan kembali dalam ekonomi secara umum wacana tentang seks dalam masyarakat modern sejak abad ketujuh belas .
Foucault menguraikan rencananya untuk buku ini, ia akan menentukan rezim kekuasaan-kesenangan pengetahuan yang menopang wacana tentang seksualitas manusia. Foucault tertarik pada over-semua ‘fakta diskursif,’ cara di mana seks adalah ‘dimasukkan ke dalam wacana,’ dan ‘teknik polymorphous kekuasaan’ yang mempengaruhi propagasi pembentukannya.

BAGIAN DUA
HIPOTESIS REPRESI
1. RANGSANGAN WACANA
Foucault berpendapat bahwa abad ketujuh belas adalah awal dari usia represi . Dia menunjukkan bagaimana proliferasi stabil wacana tentang seks menjadi semakin tepat, terutama selama pengakuan.Foucault menulis, di bawah otoritas bahasa yang telah hati-hati expurgated sehingga tidak lagi secara langsung bernama, seks adalah mengambil alih dari … oleh wacana yang bertujuan untuk memungkinkan tidak ketidakjelasan, tidak ada tangguh.
Dengan mengubah hasrat menjadi wacana, tindakan memperoleh pengakuan kekuasaan atas seks. Salah satu contoh adalah Foucault memberikan pastoral Kristen yang mengubah hasrat menjadi wacana, efek yang penguasaan, detasemen, dan reconversion spiritual untuk kembali kepada Allah.
Foucault berpendapat bahwa masalah seksual verbalisasi mungkin tetap terikat Kristen jika tidak didukung dan dipertahankan oleh mekanisme lain. Sebuah kebijakan seks dimulai pada abad kedelapan belas melalui wacana berguna dan publik. Foucault membahas ini kepolisian melalui munculnya populasi sebagai masalah ekonomi dan politik di mana masyarakat menegaskan, melalui pengamatan yang konstan dari populasi meningkat atau menurun, bahwa masa depan dan keberuntungan diikat … untuk cara di mana setiap individu memanfaatkan nya seks . Foucault juga membahas kebijakanseks anak-anak di mana jenis kelamin anak sekolah menjadi … masalah publik bahwa lembaga-lembaga harus mengatur melalui ruang dan melalui wacana. Kedokteran, peradilan pidana, dan seksualitas pasangan juga wacana terpancar bertujuan seks, mengintensifkan kesadaran masyarakat tentang bahaya sebagai konstanta. Hal ini menciptakan insentif yang lebih besar bagi orang untuk bicara tentang seks.
Alih-alih sesuatu untuk dilakukan, seks menjadi sesuatu untuk dikatakan. Pembicaraan ini, lebih dari tiga abad, membentuk, beragam diatur, multi-berpusat jaringan untuk wacana. Daya dioperasikan tidak melalui represi dari seks, tetapi melalui produksi diskursif seksualitas dan mata pelajaran.
2. PENYIMPANGAN
Foucault bertanya apakah tujuan akhir dari proliferasi wacana tentang seks telah berkunjung ke merupakan seksualitas, politik konservatif bermanfaat secara ekonomis. Dia menjawab pertanyaan ini dengan menulis Aku masih tidak tahu apakah ini adalah tujuan utama Tetapi yang pasti:. Pengurangan belum berarti digunakan untuk mencoba untuk mencapainya. Sebaliknya, Foucault berpendapat bahwa abad kesembilan belas telah menjadi usia perkalian: dispersi dari seksualitas, penguatan bentuk yang berbeda mereka, beberapa implantasi ‘pemutarbalikan’ .
Sampai akhir abad kedelapan belas, pernikahan adalah entitas pusat di bawah pengawasan konstan dan ada sedikit perbedaan antara melanggar aturan pernikahan dan homoseksualitas, sodomi, inses, dll Hal ini bergeser selama abad berikutnya: untuk menipu istri seseorang atau melanggar mayat, menjadi hal yang pada dasarnya berbeda . Kekhilafan dibagi antara pelanggaran terhadap undang-undang (moralitas) dan pelanggaran terhadap keteraturan fungsi alami.
Alih-alih melarang seksualitas perifer, seksualitas ini yang disorot, terisolasi, dan dimasukkan dengan mekanisme daya yang berbeda, seperti kedokteran, pedagogi, dan hukum. Foucault berpendapat bahwa bentuk-bentuk kekuasaan yang dilakukan pada seks dan tubuh dalam cara berikut:
• Dipertanyakan seksualitas, seperti seksualitas anak-anak, yang terpaksa bersembunyi sehingga untuk memungkinkan penemuan mereka. Pengawasan menjadi perangkat untuk mengatur ketika seksualitas tidak sah muncul.
• Mekanisme kekuasaan yang difokuskan pada seksualitas perifer tidak bertujuan untuk menekan hal itu, melainkan untuk memberikan realitas analitis, terlihat, dan permanen.
• The tatapan yang mengakibatkan spiral abadi kekuasaan dan kesenangan .
• Tempat-tempat saturasi maksimum disediakan dalam keluarga dan lembaga.
Foucault berakhir bagian ini dengan menegaskan kembali bahwa alih-alih lembaga seksualitas kekuasaan dan menghindari ketidaktahuan pura-pura, lembaga ini kekuasaan telah mengakibatkan beberapa pusat kekuasaan serta meningkatnya perhatian, hubungan melingkar, dan situs situs lebih dari kenikmatan untuk seks.

BAGIAN KETIGA
SCIENTIA SEXUALIS
Sepanjang abad ke-19 seks telah dimasukkan ke dalam dua perintah yang berbeda dari pengetahuan: suatu biologi reproduksi dan obat seks . Tidak ada penukaran, tidak ada timbal balik strukturasi, antara kedua perintah. Foucault berpendapat bahwa perbedaan ini menunjukkan bahwa tujuan dari wacana tersebut tidak untuk menyatakan kebenaran tetapi untuk mencegah munculnya sangat nya.Oleh karena itu, wacana tentang seks memiliki fungsi ganda: untuk mempertahankan kebutaan sistematis dan memberikan bentuk paradoks sebuah petisi yang mendasar untuk mengetahui. Foucault memberikan contoh Charcot yang menunjukkan mereka aparatus besar sekitar seks untuk memproduksi kebenaran, bahkan jika kebenaran ini menjadi bertopeng pada saat terakhir. Foucault berpendapat bahwa hal ini. kebenaran dan seks telah mengabadikan ke masa sekarang.
Foucault berpendapat bahwa mereka secara historis telah dua prosedur untuk memproduksi kebenaran tentang seks. Banyak masyarakat menggunakan ars erotika, atau seni erotis, dimana kebenaran adalah diambil dari kesenangan itu sendiri. Masyarakat Barat, bagaimanapun, adalah peradaban hanya untuk praktek sexualis scientia, yang mengembangkan prosedur untuk menceritakan kebenaran seks yang diarahkan ke bentuk pengetahuan-kekuasaan ditemukan dalam pengakuan itu. Pengakuan adalah salah satu ritual utama yang digunakan untuk produksi kebenaran; orang Barat telah menjadi binatang yang mengaku .Foucault menulis bahwa kewajiban untuk mengakui … begitu mendarah daging dalam diri kita, bahwa kita tidak lagi menganggap itu sebagai efek dari kekuatan yang membatasi kita, sebaliknya, tampaknya untuk menggunakan bahwa kebenaran, bersarang di alam kita yang paling rahasia, ‘tuntutan’ hanya ke permukaan .
Foucault menjelaskan bagaimana pengakuan bekerja. Berbeda dengan erotika ars, wacana pengakuan tidak datang dari atas melalui akan berdaulat menguasai melainkan dari bawah. Di sisi lain, badan dominasi tidak berada dalam satu yang berbicara, tetapi pada orang yang mendengarkan, mengatakan apa-apa, dan pertanyaan. Kemudian, wacana kebenaran berlaku, tidak dalam satu yang menerima, tapi di salah satu dari siapa itu merebut .
Foucault berpendapat bahwa pengakuan tetap standar umum yang mengatur produksi wacana yang benar tentang seks meskipun waktu telah berlalu, telah menyebar dan telah digunakan dalam berbagai hubungan, termasuk pedagogi, hubungan keluarga, kedokteran, dan psikiatri .
Foucault berpendapat bahwa pengakuan pemerasan seksual selama abad ke-19 datang untuk dibentuk dalam istilah ilmiah melalui:
1. Sebuah kodifikasi klinis pancingan untuk berbicara.
2. Dalil dari kausalitas umum dan menyebar.
3. Prinsip latency intrinsik dengan seksualitas.
4. Metode penafsiran.
5. Para medikalisasi efek pengakuan.
Akibatnya, abad ke-19 masyarakat tidak menolak untuk menghadapi seks, tetapi sebaliknya, berbicara tentang seks banyak dan berangkat untuk merumuskan kebenaran seragam seks. Karena itu, seks menjadi curiga dan sesuatu yang harus ditakuti. Sebuah bentuk baru kesenangan muncul-kesenangan analisis dan menemukan dan mengungkap kebenaran tentang seks.
Foucault berpendapat bahwa hipotesis kekuatan represi yang diberikan oleh masyarakat kita pada seks karena alasan ekonomi tidak memadai untuk menjelaskan perkembangan wacana disesuaikan dengan kekuasaan, pemadatan dari mosaik seksual, produksi wajib pengakuan, dan pembentukan sistem pengetahuan yang sah dan ekonomi kesenangan manifold. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa penyebaran kekuasaan dan pengetahuan dan kebenaran dan kesenangan yang tidak sekunder dan derivatif untuk represi. Foucault berencana untuk menyelidiki bagaimana mekanisme ini muncul dan beroperasi dan menentukan strategi kekuasaan yang imanen dalam ini akan pengetahuan.

BAGIAN KEEMPAT
SISTEM SEKSUALITAS
Foucault menyatakan kembali argumennya bahwa Barat telah paradoks menempatkan permintaan yang tak pernah berakhir untuk kebenaran: terserah kepada kita untuk mengekstrak kebenaran tentang seks, karena kebenaran ini adalah di luar jangkauan tersebut; terserah seks untuk memberitahu kami kebenaran kita, karena seks adalah apa yang tahan dalam kegelapan .
Foucault menunjukkan istirahat historis antara seks sebagai Fisika, suatu kegiatan atau dimensi kehidupan, dan Logika Seks, suatu perkembangan yang lebih baru di mana seks menjadi mapan sebagai identitas . Foucault menjelaskan hubungan seks untuk identitas, menulis Setiap kali itu adalah pertanyaan untuk mengetahui siapa kita, inilah logika yang selanjutnya berfungsi sebagai kunci utama kami … Seks,. Penjelasan untuk segalanya..
Foucault mengajukan serangkaian pertanyaan, bahwa pusat sekitar pertanyaan Mengapa ini mengejar besar setelah kebenaran seks, kebenaran dalam seks? .
Foucault menyatakan bahwa bagian ini, yang membahas tujuan, metode, domain, dan periodisasi, akan menempatkan penyelidikan yang mengikuti.
1. PERTARUHAN
Foucault menetapkan parameter dari diskusi yang berikut, menulis bahwa tujuan dari pertanyaan yang akan mengikuti adalah untuk bergerak kurang menuju ‘teori’ kekuasaan dari menuju ‘analisis’ kekuasaan: yaitu, menuju definisi domain yang spesifik yang terbentuk oleh hubungan-hubungan kekuasaan, dan menuju penentuan instrumen yang akan membuat analisis yang mungkin . ini analisis hanya dapat dibentuk jika membebaskan dirinya dari yuridis-diskursif . Prinsip ini fitur kekuasaan ini
1. Hubungan negatif. Hubungan antara kekuasaan dan seks selalu negatif.
2. Desakan dari aturan. Ini berarti seks yang ditempatkan oleh kekuasaan dalam sistem biner, kekuatan meresepkan pesanan untuk seks dan memegang kekuasaan pada seks dipertahankan melalui bahasa.
3. Siklus larangan. Tujuan dari larangan ini adalah seks yang meninggalkan dirinya melalui ancaman hukuman yang penindasan seks.
4. Logika sensor. Ini mengambil tiga bentuk: menegaskan bahwa hal seperti itu tidak diperbolehkan, mencegah dari yang dikatakan, dan menyangkal bahwa ia bekerja.
5. Keseragaman aparat. Power over seks dilakukan dengan cara yang sama pada semua tingkatan .
Foucault ingin dibebaskan dari representasi yuridis dan negatif dari kekuasaan, dan berhenti untuk hamil mereka dalam hal hukum, larangan, kebebasan, dan kedaulatan (90). Dia menulis bahwa kita harus membangun sebuah analisis kekuasaan yang tidak lagi membutuhkan hukum sebagai model dan kode.
Sebaliknya Foucault berencana untuk bekerja ke arah konsepsi yang berbeda dari kekuasaan melalui pemeriksaan lebih dekat dari bahan sejarah keseluruhan dan melalui cara berpikir yang dapat membayangkan seks tanpa hukum, dan kekuasaan tanpa raja. Artinya, Foucault mengasumsikan bahwa masyarakat modern tidak diatur seksualitas melalui hukum, tetapi melalui suatu teknologi seks.
2. Metode
Analisis Foucault pengetahuan tentang seks adalah dalam hal kekuasaan, bukan dalam hal represi hukum. Analisis ini tidak boleh menganggap kedaulatan negara, bentuk hukum, atau sistem umum dominasi satu kelompok atas yang lain. Ini hanya terminal formulir kekuasaan membutuhkan.
Sebaliknya, Foucault percaya bahwa Kekuasaan harus dipahami … sebagai multiplisitas hubungan kekuatan imanen dalam lingkup di mana mereka beroperasi dan yang merupakan organisasi mereka sendiri. Foucault menetapkan kemahahadiran kekuasaan, menulis bahwa Power mana-mana, bukan karena mencakup segala sesuatu, tetapi karena ia datang dari mana-mana … kekuasaan bukanlah sebuah institusi, dan bukan struktur;. Juga bukan kekuatan tertentu kita diberkahi dengan; itu adalah nama yang satu atribut untuk situasi strategis kompleks dalam masyarakat tertentu .
Foucault kemajuan lima proposisi kekuasaan, yaitu:
1. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diperoleh, disita, atau bersama, sesuatu yang satu berpegang pada atau memungkinkan untuk menyelinap pergi, kekuasaan diterapkan dari titik yang tak terhitung banyaknya, dalam saling hubungan nonegalitarian dan mobile.
2. Hubungan kekuasaan tidak berada dalam posisi sebelah luar sehubungan dengan jenis lain dari hubungan (ekonomi, pengetahuan, seksual), tetapi imanen dalam kedua (94). Hubungan kekuasaan juga tidak dalam posisi suprastruktur, dengan hanya peran larangan atau pendampingan, mereka memiliki peran langsung produktif, setiap kali mereka datang ke dalam bermain.
3. Power berasal dari bawah, yaitu, tidak ada biner dan semua mencakup pertentangan antara penguasa dan yang dikuasai akar dari hubungan kekuasaan.
4. Power hubungan baik disengaja maupun nonsubjective. Mereka adalah dijiwai dengan perhitungan: tidak ada kekuatan yang dilaksanakan tanpa serangkaian tujuan dan sasaran namun pada saat yang sama, ini tidak berarti bahwa hasil dari pilihan atau keputusan dari subjek individu. Logika daya dapat jelas tapi seringkali penemu atau perumus tidak dapat diidentifikasi.
5. Dimana ada kekuatan, ada resistensi dan perlawanan ini belum pernah dalam posisi sebelah luar dalam hubungannya dengan kekuasaan.
Foucault berpendapat bahwa lingkup hubungan kekuatan yang jauh berfungsi sebagai dasar untuk analisis mekanisme kekuasaan. Ia menyatakan kembali bahwa analisis ini harus menguraikan mekanisme kekuasaan atas dasar strategi yang imanen dalam hubungan kekuatan daripada mencoba untuk mengidentifikasi sumber tertentu.
Foucault menyatakan bahwa pertanyaan penting untuk seks dan wacana kebenaran adalah: Dalam jenis tertentu wacana tentang seks, dalam bentuk spesifik dari pemerasan kebenaran, muncul historis dan di tempat-tempat tertentu, apa yang paling langsung, paling lokal hubungan kekuasaan di tempat kerja? Bagaimana mereka membuat mungkin jenis wacana, dan sebaliknya bagaimana orang ini wacana digunakan untuk mendukung hubungan kekuasaan? .
Foucault tidak ingin mengidentifikasi Kekuatan yang besar, tetapi ingin membenamkan memperluas produksi wacana seks di bidang hubungan daya yang beragam, dan mobile. Dengan tujuan ini dalam pikiran, Foucault kemajuan empat aturan untuk diikuti, yang merupakan:
1. Aturan imanensi. Foucault percaya bahwa kita tidak harus mencari satu bidang tertentu dari seksualitas untuk penyelidikan ilmiah. Sebaliknya, memulai penyelidikan dengan ‘pusat-pusat lokal’ kekuasaan-pengetahuan .
2. Aturan variasi terus-menerus. Foucault berpendapat bahwa kita tidak harus melihat siapa yang memiliki kekuasaan dalam urutan seksualitas dan yang dirampas itu, melainkan untuk pola modifikasi yang hubungan kekuatan menyiratkan oleh sifat dari proses mereka . Hubungan kekuasaan-pengetahuan tidak statis bentuk distribusi, mereka adalah matriks transformasi.
3. Aturan pengkondisian ganda. Foucault berpendapat bahwa Tidak ada ‘pusat lokal’ atau ‘pola transformasi’ bisa berfungsi jika tidak akhirnya masuk ke dalam strategi keseluruhan. Dan terbalik, strategi ada yang bisa mencapai efek yang komprehensif jika tidak mendapatkan dukungan dari hubungan yang tepat dan renggang melayani sebagai yang menopang dan titik anchor .
4. Aturan dari polyvalence taktis wacana. Foucault ingin melihat wacana sebagai serangkaian segmen terputus taktis yang fungsinya tidak seragam atau stabil. Foucault berpendapat wacana yang dapat menjadi instrumen dan efek kekuasaan, tetapi juga halangan, titik perlawanan, dan titik awal untuk strategi lawan.
Foucault menulis bahwa kita perlu mempertanyakan wacana tentang seks, bukan pada model yang didasarkan pada hukum, tetapi pada dua tingkatan lain: produktivitas taktis dan integrasi strategis.
3. BIDANG
Foucault berpendapat bahwa seksualitas adalah titik transfer padat untuk hubungan kekuasaan: antara pria dan wanita, tua dan muda, orang tua dan, keturunan guru dan siswa, imam dan awam, dan administrasi dan populasi. Dimulai pada abad abad ke-18 empat kesatuan strategis telah membentuk mekanisme spesifik pengetahuan dan kekuasaan berpusat pada seks:
1. Sebuah hysterisasi tubuh perempuan
2. Sebuah pedagogisasi seks anak-anak
3. Sebuah sosialisasi perilaku prokreasi
4. Sebuah perilaku menyimpang psychiatrisasi
Empat sosok muncul formulir ini mekanisme: histeris Wanita, anak masturbasi, pasangan Malthusan, dan dewasa sesat.
Strategi-strategi ini juga menyebabkan produksi seksualitas. Hubungan seks menimbulkan dua sistem: penyebaran aliansi (sistem perkawinan, fiksasi hubungan kekerabatan) dan penyebaran seksualitas. Foucault membedakan dua, menulis Penyebaran dari aliansi dibangun di sekitar sistem aturan mendefinisikan diperkenankan dan terlarang … sedangkan penyebaran seksualitas beroperasi sesuai dengan teknik ponsel, polymorphous, dan kontingen kekuasaan (106). Penyebaran aliansi bekerja ke arah memproduksi saling hubungan dan mempertahankan hukum yang mengatur mereka. Satu sisi lain, menimbulkan penyebaran seksualitas perpanjangan terus-menerus wilayah dan bentuk kontrol . Foucault berpendapat bahwa penyebaran seksualitas dibangun atas dasar penyebaran aliansi.
Foucault melanjutkan dengan menunjukkan bahwa keluarga adalah pertukaran seksualitas dan aliansi: disampaikannya hukum dan dimensi yuridis dalam penyebaran seksualitas, dan menyampaikan ekonomi kesenangan dan intensitas sensasi dalam rezim aliansi. Foucault menulis bahwa keluarga adalah situs yang paling aktif seksualitas memberikan suatu hubungan, diperlukan paradoks yang tidak diinginkan dan penolakan dengan inses.
Sejak abad ke-17 seksualitas telah pindah dari pinggiran keluarga dengan fokus keluarga. Foucault berpendapat orang tua dan kerabat menjadi agen utama dari penyebaran seksualitas yang menarik di luar dukungan dari dokter, pendidik dan psikiater nanti. Keluarga adalah bagian utama dari seksualisasi. Angka abnormal seksualitas muncul. Para ahli, yang mau mendengarkan, dikembangkan.
Charcot menawarkan ketegangan untuk proses ini karena, setelah menerima pasien, ia memisahkan mereka dari keluarga mereka dalam upaya untuk menangani seksualitas ilmiah. Psikoanalisis menggunakan metode yang sama. Namun upaya ini menegaskan kembali aliansi untuk keluarga.
4. Periodisasi
Foucault berpendapat bahwa kronologi teknik yang berkaitan dengan seks dalam bidang kedokteran, pedagogi, dan demografi tidak sesuai dengan siklus represif besar seksualitas antara tanggal 17 dan 20 . Sebaliknya, argumen pertama Foucault adalah bahwa ada cipta abadi, pertumbuhan yang stabil metode dan prosedur dalam pedagogi, kedokteran dan ekonomi.
Kedua, Foucault berpendapat bahwa penyebaran seksualitas tidak didirikan sebagai prinsip pembatasan kesenangan orang lain dengan kelas penguasa. Sebaliknya penyebaran pertama dari seksualitas terjadi dalam kelas-kelas atas; Foucault menulis, teknik yang paling ketat dibentuk dan, lebih khusus, diterapkan pertama, dengan intensitas terbesar, di kelas ekonomi dan politik yang dominan istimewa .Untuk waktu yang lama, kelas pekerja lolos penyebaran seksualitas meskipun mereka ditundukkan untuk penyebaran aliansi.
Foucault menggunakan ini pengingat kronologis untuk menunjukkan bahwa perhatian utama bukanlah penindasan seksualitas dari kelas untuk dieksploitasi, melainkan kekuatan, panjang umur, progeniture, dan keturunan dari kelas yang ‘memerintah’ . Foucault menulis, Itu pertanyaan teknik untuk memaksimalkan hidup. Sebuah memesan politik kehidupan dibentuk, tidak melalui perbudakan orang lain, tetapi melalui suatu penegasan diri.
Foucault melanjutkan untuk menghubungkan seksualitas dengan abad ke-18 dengan kaum borjuis. Dia berpendapat aristokrasi menegaskan karakter khusus dari tubuh melalui darah; ‘darah kaum borjuis adalah seks. Foucault jejak seksualitas proletariat melalui darurat ekonomi dan kemudian menunjukkan bagaimana tubuh dan seksualitas disimpan di bawah pengawasan . Foucault menyimpulkan diskusi, menulis Seksualitas kemudian adalah awalnya, historis borjuis, dan dalam pergeseran berturut-turut dan transposisi, menginduksi efek kelas khusus .
Foucault merangkum argumennya pada penyebaran seksualitas dalam paragraf terakhir, menyoroti teori represi dan psikoanalisis
BAGIAN KELIMA
Hak Menentukan Ajal dan Menguasasi Hidup
Foucault dimulai dengan historicizing hak untuk memutuskan kehidupan dan kematian sebagai salah satu hak istimewa karakteristik dari kekuasaan yang berdaulat, dan kemudian jejak pergeseran dari kekuatan lama kematian yang menyimbolkan kekuasaan yang berdaulat untuk administrasi badan dan dihitung manajemen kehidupan . Foucault merangkum pergeseran ini ketika ia menulis hak kuno untuk mengambil hidup atau membiarkan hidup digantikan oleh sebuah kekuatan untuk mendorong hidup atau melarang ke titik kematian.
Dimulai pada abad ke-17, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan atas hidup berevolusi dalam dua bentuk dasar, yang tidak bertentangan: sebuah anatomo-politik tubuh manusia (tubuh sebagai mesin) dan bio-politik penduduk (peraturan kontrol pada tubuh) . Anatomo-dan bio-politik kekuasaan menciptakan teknik kekuasaan yang hadir di setiap tingkat tubuh sosial dan digunakan oleh lembaga beragam.
Foucault melanjutkan untuk membedakan bio-sejarah dari bio-kekuatan yang menunjuk apa yang membawa kehidupan dan mekanisme ke dalam bidang perhitungan dibuat eksplisit dan pengetahuan-kekuatan agen transformasi kehidupan manusia.
Foucault menggunakan kereta ini bukti untuk menyatakan bahwa seks menjadi isu politik. Dia menulis bahwa seks terletak di poros dua sumbu panjang yang mengembangkan teknologi politik seluruh kehidupan dengan serangkaian taktik dikombinasikan dalam cara yang berbeda. Ini sumbu adalah disiplin tubuh dan regulasi populasi. Seks menawarkan akses ke kehidupan tubuh dan kehidupan spesies.
Politik seks berkisar empat masalah, atau empat baris besar dari serangan, dibahas di Bagian Empat, Bab Tiga. Isu-isu (dari wanita histeria, seksualisasi anak-anak, dll) terletak di persimpangan dari tubuh dan penduduk pada saat ini., Menjadi seks target penting dari kekuatan diorganisir sekitar pengelolaan hidup ketimbang ancaman kematian .
Foucault berpendapat bahwa hubungan darah yang lama tetap menjadi elemen penting dalam mekanisme kekuasaan karena darah kenyataan dengan fungsi simbolis . Namun, seiring waktu masyarakat kita telah pergi dari Symbolics darah ke analisis seksualitas .
Foucault menawarkan kemungkinan kontra-argumen untuk posisi, menulis bahwa kritik itu mungkin mengatakan bahwa ia menawarkan hanya efek berdasar, konsekuensi tanpa akar, seksualitas tanpa seks. Foucault menyangkal argumen ini, menyatakan bahwa tujuannya dalam penelitian ini adalah untuk menunjukkan bagaimana penyebaran kekuatan secara langsung terhubung ke tubuh , dan dengan alasan bahwa seks bukanlah lembaga otonom yang menghasilkan seksualitas, tapi bukan seks itu, unsur yang paling spekulatif yang paling ideal, dan paling internal dalam penyebaran seksualitas yang diselenggarakan oleh kekuatan dalam cengkeramannya pada tubuh dan materialitas mereka, kekuatan mereka, energi, sensasi, dan kesenangan . Foucault menyatakan bahwa dalam rangka untuk bekerja melawan penyebaran seksualitas, titik kumpul tidak harus hasrat seks, tetapi tubuh dan kesenangan .
Foucault berakhir pembahasan dengan menekankan bahwa mekanisme daya seksualitas secara sosial dibangun, tidak stabil, dan historis terletak. Dia merenung hari ketika peradaban lain akan muncul yang tidak akan memahami bagaimana sebuah peradaban bisa begitu niat dan sabar dalam menuntut kebenaran seks. Dalam ekonomi yang berbeda dari tubuh dan kesenangan, orang tidak akan lagi cukup memahami bagaimana tipu muslihat seksualitas, dan kekuatan yang menopang organisasi, mampu subjek kita bahwa monarki keras seks, sehingga kita menjadi didedikasikan untuk tak berujung tugas memaksa rahasia, atau menuntut pengakuan sejati dari bayangannya dan dari memiliki kita percaya bahwa ‘pembebasan’ kita adalah di dalam keseimbangan .

Read Full Post »

KSATRIA PEREMPUAN
( Keperkasaan Tiga Tokoh Wayang Perempuan)

A. PENDAHULUAN
Indonesia dikenal memiliki keragaman kebudayaan yang adi luhur. Salah satu yang menonjol dan telah ada sejak berabad-abad silam adalah kesenian tradisi wayang. Wayang Indonesia (wayang jawa pada khususnya) pada tanggal 17 November 2003 telah diproklamasikan sebagai karya budaya dunia (Master-piece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO, sebuah Badan PBB yang menangani masalah kebudayaan. Wayang merupakan sebuah tradisi lesan yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jawa., Pertunjukan wayang sering dilakukan/dipentaskan dalam acara apa saja dan di acara apapun baik dipentaskan oleh masyarakat maupun instansi pemerintah. Wayang sejak dahulu kala sering dianggap sebagai cerminan hidup, berisi ajaran-ajaran hidup yang meliputi etika, politik, pendidikan, dan lain-lain dalam Dalam batas-batas tertentu, wayang bagi masyarakat Jawa adalah agama kedua yang memberi banyak ajaran, tuntunan, dan tatanan nilai kultural, baik melalui representasi jalan cerita ataupun pencitraan para tokoh.
Menurut Franz Magnis-Suseno, dalam buku Etika Jawa (1998), dikatakan bahwa orang Jawa memakai wayang sebagai cara untuk memahami makna hidup. Cara paling mendasar adalah membuat identifikasi diri terhadap tokoh-tokoh tertentu, baik tokoh dewa, kesatria, raja, brahmana, raksasa, punakawan, maupun tokoh-tokoh lainnya. Selanjutnya, Franz Magnis-Suseno mengatakan, bahwa belajar memahami makna hidup melalui wayang tidak mungkin lepas dari paradoks. Maksudnya, kebaikan dan keburukan manusia itu relatif dan hanya memiliki perbedaan tipis. Ajaran moral dalam wayang tergantung pada relativitas norma-norma umum dengan maksud mengembangkan toleransi dan mawas diri.
Cerita-cerita wayang yang diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata mengandung banyak sekali sumber pengetahuan dan pembelajaran bagi manusia untuk memahami makna hidup. Tokoh-tokoh pewayangan yang dikenal masyarakat biasanya tokoh dengan jenis kelamin laki-laki. Padahal, banyak tokoh-tokoh perempuan yang sebenarnya dapat dijadikan panutan ataupun cerminan hidup. Dalam dunia pewayangan, dikenal banyak wanita yang memiliki jiwa satria. Satria di sini bukan diartikan sebagai pandai berperang, tetapi lebih diartikan memiliki ketahanan mental spiritual yang melebihi satria (laki-laki). Diantara mereka adalah Dewi Shinta (isteri Ramawijaya), Dewi Drupadi (isteri Pandhawa), Srikandhi (isteri Arjuna).

B. Perempuan berjiwa Satria dalam kisah Pewayangan
1. Dewi Shinta
Dewi Shinta merupakan titisan bidadari yang bernama Dewi Sri istri Batara Wisnu. Tokoh ini menjadi fokus utama dalam kisah Ramayana. Shinta merupakan putra Prabu Janaka di Negara Mantilireja. Shinta merupakan isteri Ramawijaya dari Negara Ayodya, dari perkawinan itu menghasilkan dua putra yang bernama Lawa (Rawabatlawa) dan Kusa (Ramakusa).
Seperti janji Batara Wisnu dengan Dewi Sri, jika telah menitis ke bumi mereka akan selalu berdampingan. Oleh karena itu berdasarkan bisikan dewa bahwa putrinya adalah titisan Dewi Sri, maka Prabu Janaka mengadakan sayembara merentangkan busur. Sayembara itu dimenangkan Ramawijaya dan Dewi Shinta diboyong ke Ayodya.
Di Ayodya terjadi intrik-intrik yang dilakukan Dewi Kekayi selir Prabu Dasarata. Dia ingin anaknya menjadi raja, sehingga dengan daya upaya tertentu berupaya mengusir Ramawijaya sang putra Mahkota. Ketika Ramawijaya, Dewi Shinta, dan Raden Laksmana berada di Rimba Dandaka, mereka telah diintai oleh Sarpakenaka dan Rahwana. Keduanya melakukan tipu daya untuk memisahkan Shinta dari Laksmana dan Ramawijaya, sehingga akhirnya Shinta berhasil diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka. Di Alengka Rahwana berupaya agar Dewi Shinta bersedia melayani nafsunya, tetapi berulangkali Dewi Shinta berhasil menolaknya. Sampai pada akhirnya Anoman datang, yang memberi pertolongan.
Setelah perang antara Ramawijaya melawan Rahwana yang dimenangkan oleh Ramawijaya, Ramawijaya meragukan kesucian Dewi Shinta. Oleh karenanya Dewi Shinta masuk ke lautan api. Atas karunia Batara Endra, maka Dewi Shinta tidak hangus dan dinyatakan suci.
Pengorbanan dan kesetiaan Shinta mencerminkan kodrat kaum perempuan yang memiliki komitmen dan kepasrahan demi kebenaran, cinta, maupun keharmonisan keluarga serta alam semesta. Masyarakat Jawa banyak yang terkesan dengan sosok Shinta. Di satu sisi, Shinta adalah korban dari cinta dan kekuasaan, akan tetapi di sisi yang lain, Shinta adalah suara hati nurani manusia yang masih percaya pada kebenaran dan kebaikan. Shinta bisa saja ditafsirkan selalu menjadi pihak korban ketika diculik Rahwana dan disangsikan kesuciannya oleh Rama, suami yang sangat dicintainya. Posisi itulah, yang sering membuat kaum perempuan kritis menilai peran perempuan dalam kehidupan ini. Kaum perempuan menuntut kesejajaran gender tanpa diskriminasi, dan menggugat dominasi laki-laki yang terkadang membuat perempuan jadi korban, pihak yang dikalahkan

2. Dewi Drupadi
Dewi Drupadi putri Prabu Drupada Raja Cepala, Ia adalah istri kelima pandawa. Saat Pandawa dalam pengasingan, Raja Drupada menyelenggarakan Lomba memanah untuk mencarikan suami bagi anak perempuannya yaitu Dewi Drupadi, Lomba tersebut dimenangkan oleh Arjuna dan Dewi Drupadi diboyong ke rimba untuk dipertemukan kepada saudara-saudara Arjuna. Karena Arjuna awalnya berpamitan pada Dewi Kunthi untuk berburu, maka saat Arjuna tiba Dewi Kunthi memerintah Arjuna untuk membagi sama rata hasil buruannya kepada keempat saudaranya, tetapi ketika yang dibawa adalah seorang putri maka Dewi Drupadi-pun “dibagi rata” kepada kelima Pandawa sebagai istri mereka.
Ketika Yudhistira mewakili Pandawa bermain dadu dengan taruhan yang tak masuk akal. Yudhistira kalah berulangkali melawan Sengkuni, wakil Kurawa. Harta, kerajaan, adik-adiknya, dirinya, termasuk istrinyapun dijadikan taruhan , tetapi hasilnya Yudhistira kalah. Drupadi kembali menjadi objek, bahkan korban, sebab Yudhistira tidak meminta persetujuan, minimal memberitahukan lebih dulu bahwa dirinya untuk menjadi taruhan di dalam judi dadu. Nasib Drupadi sungguh menyedihkan. Tragisnya, di hadapan banyak orang, dirinya dipermalukan oleh Kurawa yang berusaha menelanjanginya. Hampir saja busananya ditarik sehingga kelihatan tubuhnya, tetapi dengan bantuan Prabu Kresna, busananya menjadi kian tebal, karena ternyata kain yang membungkus badan Dewi Drupadi menjadi panjang sekali seolah-olah tidak akan ada ujung pangkalnya. Padahal Dewi Drupadi sudah khawatir dengan posisinya saat itu. Akan tetapi rambutnya berhasil diuraikan(jawa: dijambak) oleh Dursasana, sehingga dia bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum dibasuh dengan darah Dursasana.
Tokoh ini memiliki kisah hidup yang penuh cobaan dan penderitaan, namun pada akhirnya menemukan kebahagiaan dan balasan setimpal. Bagian-bagian hidup dari Drupadi senantiasa menarik perhatian karena posisinya sebagai orang lemah dan dikorbankan. Drupadi, sejak awal, dipandang sebagai komoditi atau objek. Hal itu terbukti dengan penyelenggaraan sayembara dengan hadiah Drupadi. Pemenang sayembara adalah Arjuna. Meskipun demikian, Drupadi tidak hanya diperistri oleh Arjuna saja, tetapi oleh kelima Pandawa sekaligus. Drupadi menerima kenyataan itu, dan dia ingin membaktikan dirinya sebagai istri yang baik, setia, dan teguh hati. Drupadi memahami itu semua sebagai takdir. Sumpah Drupadi untuk tidak akan menyanggul rambutnya sebelum dibasuh dengan darah Dursasana, terkabulkan setelah tiga belas tahun lamanya. Drupadi akhirnya bisa membalas perlakuan kejam atas dirinya oleh pihak Kurawa. Tetapi yang aneh adalah Drupadi tidak memiliki keinginan besar untuk menuntut keadilan terhadap suaminya, Pandawa, yang mengorbankan dirinya. Sebab yang paling mungkin, Drupadi memegang teguh janji sebagai istri, sehingga dia pasrah dan berharap atas kebaikan dari lima suaminya

3. Srikandhi
Pada saat lahir, Srikandhi adalah seorang perempuan, dimana dewi Amba kemudian menitis kepadanya. Tetapi karena diamanatkan oleh Betara Guru, Srikandhi diperlakukan seperti laki-laki, diajari berperang, dan diberi pakaian laki-laki. Dewi Srikandhi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru kepada Arjuna. Setelah remaja, seorang putri bernama Hiranyawati, anak dari Raja Hiranyawarman jatuh hati dan meminta supaya dinikahkan dengan Srikandhi. Drupada tentu saja gundah karena tidak mungkin menikahkan Srikandhi dengan Hiranyawati. Tetapi kalau tidak disetujui, maka akan timbul peperangan. Pada akhirnya mereka dinikahkan. Karena secara fisik Srikandhi adalah seorang perempuan, maka dia tidak pernah menyentuh istrinya. Karena curiga, diam-diam Hiranyawati mengintip Srikandhi pada saat mandi. Dengan menangis tersedu-sedu Hiranyawati melaporkan hal memalukan ini pada ayahnya. Beruntung, Srikandhi mendengar pengaduan itu. Dengan diam-diam Srikandhi kabur ke hutan untuk mencegah keributan atau perang antara negaranya dengan negara asal istrinya. Di hutan, dia bertemu dengan seorang Yaksa (raksaksa). Setelah bercerita, Yaksa tersebut merasa kasihan dan bersedia menukar kelaminnya, dengan janji akan dikembalikan setelah berhasil meredam peperangan yang akan terjadi. Akhirnya Srikandhi datang tepat pada waktunya mencegah peperangan, dengan memotong iring-iringan bala tentara kedua kerajaan yang baru akan berperang. Setelah itu, dia kembali kepada istrinya dan berhasil meyakinkan istrinya bahwa dia adalah laki-laki tulen. Setelah beberapa waktu, Srikandhi ingat akan janjinya untuk mengembalikan gender-nya pada raksaksa itu. Diam-diam pada suatu malam, dia meninggalkan kerajaan dan kembali ke hutan dengan tujuan menukar gender dan tidak akan kembali kepada istrinya. Beruntung, pada saat Yaksa tersebut menukar kelaminnya, raja dari raksaksa itu datang dan melihat bahwa dia berubah menjadi perempuan. Raja raksasa itu kemudian mengutuk / memberi supata bahwa Yaksa itu untuk menjadi perempuan selama-lamanya. Dengan demikian janji untuk menukar kembali kelaminnya tidak mungkin dilakukan. Akhirnya Srikandhi kembali kepada istrinya dan hidup bahagia.
Dalam Bharatayuda, Srikandhi menjadi perisai Pandawa dalam pertempuran Arjuna dan Bisma. Bisma yang tahu bahwa Srikandhi awalnya adalah perempuan tidak pernah mau membalas serangan Srikandhi dan akhirnya Bisma gugur
Srikandhi adalah satu-satunya perempuan yang diberi hak terjun dalam perang Barathayuda. Sekali ia berperang, sekali itu pula ia mampu mengalahkan Bisma pahlawan perang Kurawa yang satu prajurit pun dari kubu Pandawa tak sanggup mengalahkannya. Srikandhi adalah pembuka jalan bagi kemenangan Pandawa atas Kurawa. Untuk itu, ia dinobatkan sebagai perempuan utama. Namun, apa yang luput dari pandangan kita selama ini adalah Srikandhi hanyalah “alat”, bukan pelaku utama kisah kepahlawanan itu.
Bukan Srikandhi-lah sesungguhnya pembunuh Bisma, melainkan Amba, gadis yang ditolak cintanya oleh Bisma sewaktu muda. Dalam kematiannya, Amba menyimpan dendam untuk membunuh Bisma agar bisa pergi ke surga bersama-sama karena tidak bisa bersama di dunia. Dan kesempatan itu baru datang saat Barathayuda. Ia menyusup ke tubuh Srikandhi yang tengah melepaskan anak panah ke dada Bisma. Mengetahui yang merasuki Srikandhi adalah Amba, Bisma membiarkan dadanya dihujani anak panah Srikandhi sebagai upaya penebusan dosa dia pada Amba.
Srikandhi melakukan aksi kepahlawanan itu bukan karena kemampuannya sendiri, ia hanya menjadi alat dari sebuah dendam, namun kita memuja dan menempatkannya dalam simbolisasi yang penting. Namanya sering kita jadikan simbol perempuan berprestasi. Ada Srikandhi bulu tangkis, Srikandhi birokrasi, Srikandhi pembayar pajak, untuk memberi penghargaan atas jasa-jasanya kepada negara. Srikandhi lalu menjadi simbol keberartian perempuan. Simbol kepahlawanan dan simbol persamaan antara perempuan dan laki-laki karena prestasi dan kegesitannya.

C. PENUTUP
Wayang sebagai sistem budaya masyarakat Jawa telah mencitrakan perempuan sedemikian rupa. Semua tokoh penting wayang laki-laki beristri lebih dari satu, kecuali Yudhistira dan Duryudana. Hal ini mengandung arti bahwa konstruksi wayang adalah konstruksi nilai dan citra perempuan yang subordinat.
Reinterpretasi dan modifikasi terhadap pergelaran wayang memang telah banyak dilakukan oleh dalang-dalang masa kini. Ada beberapa dalang yang melakukan reinterpretasi dan modifikasi terhadap pergelaran wayang kulit. Namun, berbagai reinterpretasi dan modifikasi belum menyentuh pada pembangunan citra perempuan bagi upaya kesetaraan jender. Kebanyakan dalang memodifikasi tampilan dan jalan cerita, yang banyak melanggar pakem semata-mata atas pertimbangan popularitas, tuntutan zaman, dan keterhiburan khalayak, dan sama sekali belum menyentuh berbagai sistem nilai dan ideologi wayang purwa yang patriarkis dan feodal.Oleh sebab warisan budaya patriarkhis, akibatnya sebagian perempuan sulit meniti karir, sehingga talenta yang mereka miliki menjadi tersia-siakan. Jutaan perempuan karir dan pekerja di seluruh negeri mendapati kesetaraan yang belum tercapai. Mereka harus membanting tulang dari pagi buta sampai larut malam, karena beban peran ganda.
Tokoh Sinta dan Drupadi merupakan cerminan nasib kaum perempuan sejak dulu sampai sekarang. Kaum perempuan dalam kenyataan hidup sering mengalami diskriminasi, dijadikan objek, bahkan dijadikan korban demi kekuasaan ataupun harga diri laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerita wayang mungkin sukar untuk dirubah nasibnya, tetapi dalam kehidupan nyata kaum perempuan berhak mengubah nasib demi emansipasi dan kesetaraan gender.
Wayang adalah cerminan hidup. Segala kisah kaum perempuan yang penuh penderitaan mestinya menjadi renungan untuk menentukan sikap dan agenda perubahan. Perempuan adalah makhluk hidup yang memiliki kebebasan dan potensi tanpa harus selalu dijajah atau didominasi oleh kepentingan kaum laki-laki. Kaum perempuan sepatutnya mengambil hikmah positif dari tokoh Sinta, Drupadi dan Srikandhi. Sedangkan diskriminasidan/ kesangsian kemampuan terhadap tiga tokoh itu bisa memicu kesadaran kaum perempuan agar berani mengekspresikan diri untuk melawan penindasan ataupun kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Ardian Kresna, “Panah Srikandi Pahlawan Cantik Ahli Panah Pembunuh Resi Bhisma” , Yogyakarta: Diva Press, 2011
Mahendra Sucipto, “ Ensiklopedia Tokoh-Tokoh Wayang dan Silsilahnya”,Jakarta: Narasi, 2010
Heru Sujarwo, S.Sn Dkk,”Rupa dan Kharakter Wayang Purwa”, Jakarta:Kakilangit Kencana, 2010
R.A. KOSASIH, “Mahabharata Jilid 1-13” , Jakarta: Elex Media Komputindo,2000
R.A. KOSASIH. “Ramayana jilis 1-3”, Jakarta: Elex Media Komputindo,2000
Prof. Drs.Suwaji Bastomi, “Gelis Kenal Wayang”,Semarang: IKIP Semarang Press, 1992
Hardjowirogo ,”Sejarah Wayang Purwa”, Jakarta: PN Balai Pustaka – 1982
Franz Magnis-Suseno, “Etika Jawa” Jakarta: Gramedia,1998
http://wayang.wordpress.com

Read Full Post »

SOSIOLOGI PENDIDIKAN.PPT

sos-pen kelomp 1

Read Full Post »

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

A. Definisi Sosiologi Pendidikan
Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai dari struktur sosial masyarakat.
Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.
Beberapa defenisi sosiologi pendidikan menurut beberapa ahli:
1. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
2. Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
3. Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
4. Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
5. Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
6. Menurut Drs.Ary H.Gunawan. Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
a. Pengertian sosiologi pendidikan
Perubahan tatanan social kehidupan masyarakat Eropa pada sekitar awal abad ke 20 menyebabkan manfaat sosiologi menjadi penting dalam mendampingi proses-proses pendidikan di eropa. Perkembangan tersebut merupakan efek dari revolusi social diberbagai penjuru wilayah Eropa yang memicu perubahan arah perkembangan masyarakat.
Sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata, sosiologi dan pendidikan. Kedua istilah ini dari segi etimologi tentu saja berbeda maksudnya, namun dalam sejarah hidup dan kehidupan serta budaya manusia, kedua ini menjadi satu kesatuan yang terpisahkan. Terutama dalam system memberdayakan manusia, dimana sampai saat ini memanfaatkan pendidikan sebagai instrument pemberdayaan tersebut.
Dilihat dari obyek penyelidikannya sosiologi pendidikan adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain : ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. dari sini terlihat jelas kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Beberapa pemikiran pakar mengenai sosiologi pendidikan yang dikemukakan oleh Ahmadi (1991). Menurut George Payne, yang kerap disebut sebagai bapak sosiologi pendidikan, mengemukakan secara konsepsional yang dimaksud dengan sosiolgi pendidikan adalah by educational sosiologi we the science whith desribes andexlains the institution, social group, and social processes, that is the spcial relationships in which or through which the individual gains and organizes experiences”. Payne menegaskan bahwa, di dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok social, proses social, terdapatlah apa yang yang dinamakan social itu individu memproleh dan mengorganisir pengalamannya-pengalamannya. Inilah yang merupaka asepek-aspek atau prinsip-prinsip sosiologisnya.
Charles A. Ellwood mengemukakan bahwa Education Sosiologi is the sciense aims to reveld the connetion at all points between the cdukative process and the social, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses social.
Menurut E.B Reuter, sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisa evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia, dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian social dari tiap-tiap individu. Jadi perinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga social itu selalu saling pengaruh mempengaruhi (process social interaction).
F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan social yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalamannya. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakukan social serta perinsip-perinsip untuk mengontrolnya.
E.G Payne secara spesifik memandang sosiolgi pendidikan sebagai studi yang konfrenhensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu yang diterapkan. Bagi Payne sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan analisis sosiologis. Tujuan utamanya ialah memberikan guru-guru, para peneliti dan orang lain yang menaruh perhatian akan pendidikan latihan yang serasi dan efektif dalam sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan (Nasution 1999:4)
Menurut Dictionary of Socialogy, sosiologi pendidikan ialah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Menurut Prof. DR.S.Nasution. Sosiologi pendidikan ialah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
Menurut F.G. Robbins, Sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidika.
Menurut penulis, Sosiologi pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dengan berbagai definisi tersebut diatas menunjukkan bahwa sosiologi pendidikan merupakan bagian dari matakuliah-matakuliah dasar-dasar kependidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan sifatnya wajib diberikan kepada seluruh peserta didik.
b. Tujuan sosiologi pendidikan
Francis Broun mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memproleh dan mengorganisasi pengalamannya. Sedang S. Nasution mengatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah Ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memproleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari kedua pengertian dan beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disebutkan beberapa konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatiakan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak. Misalnya, anak yang terdidik dengan baik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa/tua akan cendrung menjadi manusia yang religius pula. Anak yang terdidik dalam keluarga intelektual akan cendrung memilih/mengutamakan jalur intlektual pula, dan sebagainya.
2. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis perkembangan dan kemajuan social. Banyak orang/pakar yang beranggapan bahwa pendidikan memberikan kemungkinan yang besar bagi kemajuan masyarakat, karena dengan memiliki ijazah yang semakin tinggi akan lebih mampu menduduki jabatan yang lebih tinggi pula (serta penghasilan yang lebih banyak pula, guna menambah kesejahteraan social). Disamping itu dengan pengetahuan dan keterampilan yang banyak dapat mengembangkan aktivitas serta kreativitas social.
3. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis status pendidikan dalam masyarakat. Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalammasyarakat sering disesuaikan dengan tingkatan daerah di mana lembaga pendidikan itu berada. Misalnya, perguruan tinggi bisa didirikan di tingkat propinsi atau minimal kabupaten yang cukup animo mahasiswanya serta tersedianya dosen yang bonafid.
4. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan social. Peranan/aktivitas warga yang berpendidikan / intelektual sering menjadi ukuan tentang maju dan berkembang kehidupan masyarakat. Sebaiknya warga yang berpendidikan tidak segan- segan berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, terutama dalam memajukan kepentingan / kebutuhan masyarakat. Ia harus menjadi motor penggerak dari peningkatan taraf hidup social.
5. Sosiologi pendidikan bertujuan membantu menentukan tujuan pendidikan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada filsafat hidup bangsa tersebut. Seperti di Indonesia, Pancasila sebagai filsafat hidup dan kepribadian bangsa Indonesia harus menjadi dasar untuk menentukan tujuan pendidikan Nasional serta tujuan pendidikan lainnya. Dinamika tujuan pendidikan nasional terletak pada keterkaitanya dengan GBHN, yang tiap 5 (lima) tahun sekali ditetapkan dalam Sidang Umum MPR, dan disesuaikan dengan era pembangunan yang ditempuh, serta kebutuhan masyarakat dan kebutuhan manusia.
6. Menurut E. G Payne, sosiologi pendidikan bertujuan utama memberi kepada guru- guru (termasuk para peneliti dan siapa pun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan – latihan yang efektif dalam bidang sosiologi sehingga dapat memberikan sumbangannya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut pendapatnya, sosiologi pendidikan tidak hanya berkenaan dengan proses belajar dan sosialisasi yang terkait dengan sosiologi saja, tetapi juga segala sesuatu dalam bidang pendidikan yang dapat dianalis sosiologi. Seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan teknik mengajar yaitu metode sosiodrama, bermain peranan (role playing) dan sebagainya.dengan demikian sosiologi pendidikan bermanfaat besar bagi para pendidik, selain berharga untuk mengalisis pendidikan, juga bermanfaat untuk memahami hubungan antara manusia di sekolah serta struktur masyarakat. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari masalah – masalah sosial dalam pendidikan saja, melainkan juga hal – hal pokok lain, seperti tujuan pendidikan, bahan kurikulum, strategi belajar, sarana belajar, dan sebagainya. Sosiologi pendidikan ialah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola- pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Jika dilihat zaman peradaban yunani pada masa Plato (427-327 BC), pendidikannya lebih mengutamakan penciptaan manusia sebagai pemikir, kemudian sebagai ksatria dan penguasa. Pada zaman Romawi, seperti masa kehidupan Cicero (106-43 BC),2 pendidikan mengutamakan penciptaan manusia yang hmanistis. Pada abad pertengahan, pendidikan mengutamakan menjadikan manusia sebagai pengabdi Khalik (baik versi Islam maupun versi Kristiani). Pada abad pertengahan (1600-an-1800-an), melahirkan teori Nativisme (Rousseau, 1712-1778), Empirisme oleh Locke (1632-1704) dan konvergensi oleh Stern (1871-1939). Semuanya cendrung kepada nilai individu anak sebagai manusia yang memiliki karakteristik yang unik.
Menurut Nasution (1999:2-4) ada beberapa konsep tentang tujuan Sosiologi Pendidikan, antara lain sebagai berikut:
(1) analisis proses sosiologi (2) analisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis intraksi social di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat, (4) alat kemajuan dan perkembangan social, (5) dasar untuk menentukan tujuan pendidikan, (6) sosiologi terapan, dan (7) latihan bagi petugas pendidikan.
Konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari pola budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut merupakan sesuatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut, sekaligus memelihara implikasi dari berbagai fenomena yang ada.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri. Secara universalm tujuan dan fungsi pendidikan itu adalah memanusiakan manusia oleh manusia yang telah memanusia. Itulah sebabnya system pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal 3 adalah “ untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujaun nasional”. Menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalan: (1) untuk mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, (2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesiam (3) meningkatkan martabat manusia Indonesia, (4) mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-masusia Indonesia. Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri,mmeningkatkan mutu kehidupan, meninggikan martabat dalam ragka mencapai tujuan nasional.
Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berpradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggungjawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama (Tilaar, 1999). Dengan demikian proses pendidikan yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang segaris dengan upaya-upaya pencapaian masyarakat madani tersebut.
Menurut pandangan Nurcholis Majid mengemukakan bahwa masyarakat madani itu adalah masyarakat yang berindikasi seperti termaktub dalam piagam madinah pada zaman Rasulullah Muhammad SAW (Tilaar, 2000).
Saat ini kita mengalami perubahan yang begitu cepat dan drastic, sehingga terjadi perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Langgulung (1993:389) “kelompokpertama melihat nilai-nilai lama mulai runtuh sedangkan nilai-nilai baru belum muncul yntuk menggantikan yang lama, sedang kelompok kedua melihat keruntuhan nilali-nilai lama itu, tetapi dalam waktu yang bersamaan dapat melihat bagaimana nilai-nilai lama itu, menyelinap masuk kedalam nilai-nilai baru dan membantu menegakkannya”.
Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat bukan berarti tidak terperhatikan oleh masyarakat. Namun dalam memperhatikan nilali-nilai yang berkembang tersebut, arah yang menjadi anutan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidaklah sama. Tidak semua masyarakat secara terarah memahami arah dan tujuan hidup secara benar. Arah dan tujuan yang benar menurut Mulkham (1993:195) adalah “secara garis besar arah dan tujuan hidup manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap. Tahap pertama, mengenai kebenaran, tahap kedua, memihak kepada kebenaran dan tahap terakhir adalah berbuat ikhsan secara dan secara individual maupun social yangb terealisasi dalam laku ibadah”.
Sampai saat ini pendidikan dianggap dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif dalam menyadarkan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas dan masyarakat. Pendidikan akan mengembangkan kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetahuan, pada sisi yang lain agama akan semakin popular dan terinternalisasi dalam diri setiap pemeluknya, jika diberikan melalui pendidikan.
c. Masyarakat sebagai ruang lingkup pembahasan sosiologi pendidikan
Sosiologi disebut juga sebagai ilmu Masyarakat atau ilmu yang membicarakan masyarakat., maka perlu diberikan pengertian tentang masyarakat. Berikut ini adalah pengertian yang diberikan oleh beberapa pakar sosiologi:
1. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social, dan selalu berubah. (Mac Iver dan Page).
2. Masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu system adat istiadat tertentu. (Koentjaraningkat).
3. Masyarakat adalah tempat orang-orang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaa. (Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi).
Menurut Soerjono Soekanto, ada 4 (empat) unsure yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
1. Adanya manusia yang hidup bersama, (dua atau lebih)
2. Mereka bercampur untuk waktu yang cukup lama, yang menimbulkan system komunikasi dan tata cara pergaulan lainnya.
3. Memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan
4. Merupakan system kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan.
Komunitas (communiti) adalah suatu daerah/wilayah kehidupan social yang ditandai oleh adanya suatu derajat hubungan social tertentu. Dasar dari suatu komunitas adalah adanya lokasi (unsure tempat) dan perasaan sekomunitas. (Mac Iver dan Page).
Contohnya: 1). Komunitas yang sangat besar adalah Negara, persekutuan Negara-negara. 2). Komunitas yang besar, adalah kota, dan 3). Komunitas kecil adalah desa pertanian, rukun tetangga, dan sebagainya.

Daftar Pustaka :

Drs. H. Muhyi Batubara, M. Sc. “Sosiologi Pendidikan”. PT. Ciputat Press. Jakarta, Hal 1
Drs. H. Muhyi Batubara, M. Sc. “Sosiologi Pendidikan”. PT. Ciputat Press. Jakarta, Hal 8
H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hartoto. 2008. Defenisi Sosiologi Pendidikan. Online (http://www.fatamorghana. wordpress.com, diakses 20 Maret 2008)

Read Full Post »

1. Sekolah
Kata sekolah berasal dari bahasa Latin, yakni skole,scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana waktu itu sekolah adalah kegiatan diwaktu luang bagi anak-anak ditengah kegiatan utama mereka yakni bermain dan menghabiskan waktu menikmati masa kanak-kanak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang adalah berhitung, mempelajari cara membaca huruf, mengenal etika/budi pekerti dan estetika/seni (http://id.Wikipedia.org/wiki/sekolah). Kini, kata sekolah dikatakan Sunarto (1993) dalam Abdullah Idi telah berubah berupa bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (murid) dibawah pengawasan pendidik (guru) dalam upaya menciptakan anak didik (murid) agar dapat mengalami kemajuan setelah melalui proses melalui pembelajaran. Edzioni (1964) dalam Robinson mengemukakan bahwa Sekolah telah “dengan sengaja diciptakan” dalam arti bahwa pada saat tertentu telah diambil sebuah keputusan untuk mendirikan sebuah sekolah guna memudahkan pengajaran yang sangat beraneka ragam. Sekolah juga dibentuk kembali dalam arti bahwa setiap hari orang-orang berhubungan dalam konteks sekolah; ada yang mengajar, ada yang bersusah-payah untuk belajar, dan ada lagi yang membersihkan ruangan, menyediakan makanan dan melakukan berbagai kegiatan sekolah.
Nama-nama sekolah bervariasi, tetapi pada umumnya sekolah dasar untuk anak-anak dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan pendidikan dasar, perguruan tinggi untuk orang dewasa yang telah menyelesaikan sekolah menengah. Sekolah juga kadang didedikasikan untuk satu bidang tertentu seperti sekolah ekonomi, sekolah teknik dan sekolah pariwisata.
Selain sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, ada pula sekolah non pemerintah yang disebut sekolah swasta (private schools). Sekolah swasta merupakan partner pemerintah dalam menyediakan kebutuhan sekolah bagi penduduknya. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak berkebutuhan khusus, seperti sekolah keagamaan, atau sekolah khusus lainnya yang memiliki standar lebih tinggi dalam mempersiapkan prestasi pribadi anak didik(murid) seperti Sekolah Luar Biasa (SLB).
.
2. Sekolah sebagai Organisasi Pendidikan Formal
a. Pengertian Organisasi Formal
Organisasi adalah aktivitas dalam membagi-bagi kerja, menggolong-golongkan jenis pekerjaan, memberi wewenang, menetapkan saluran perintah dan tanggung jawab. Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya, sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
Beberapa ahli mengemukakan pengertian tentang organisasi. Victor A. Thompson, 1969 dalam Karsidi menyatakan bahwa sebuah organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialis yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Chester I. Barnard,1970 mendefinisikan organisasi sebagai sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua orang atau lebih. E. Wright Bakke,1967 mengatakan suatu organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi dan modal, gagasan dan sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya yang lain, dalam suatu lingkungan tertentu.
Dari beberapa pengertian tersebut diatas, dapat kita tarik kesamaan teoritis mengenai 0rganisasi, yaitu:
1) Mempunyai tujuan tertentu dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia;
2) Mempunyai hubungan sekunder (impersonal);
3) Mempunyai tujuan khusus dan terbatas;
4) Mempunyai kegiatan kerja sama pendukung;
5) Terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas;
6) Menghasilkan barang atau jasa untuk lingkungan, dan
7) Sangat terpengaruh dengan setiap perubahan lingkungan.
Sebuah organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Rumusan batas-batas operasionalnya (organisasi) jelas
2) Memiliki identitas yang jelas
3) Keanggotaan formal, status dan peran http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/arti-penting-organisasi-sosial
Jelaslah, bahwa dari pengertian dan ciri-ciri di atas akan mudah membedakan mana yang dikatakan organisasi dan mana yang bukan sebuah organisasi.
b. Sekolah Sebagai Organisasi
Sekolah sebagai sebuah organisasi adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, bak yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai mahluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai sendiri. Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling ketergantungan. Dalam hal pendidikan masyarakat membutuhkan organisasi sekolah, universitas maupun institusi departemen yang mengelola sistem pendidikan negara untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Oleh karena itu, keberadaan sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan formal merupakan keniscayaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi.
Dari wujudnya, sekolah merupakan organisasi yang memiliki komponen-komponennya dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah organisasi formal.Beberapa kriteria organisasi yang diuraikan di bagian atas dapat kita lihat manifestasi spesifik dalam lembaga sekolah.
1) Sekolah memiliki tujuan kelembagaan yang jelas ,
2) Sekolah memiliki keanggotaan yang formal dimana status dan peran anggotanya diatur dalam batas-batas operasional yang jelas
3) Sekolah memiliki pola jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Keberadaan sekolah patut dimasukkan sebagai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme birokratis dalam mengelola beragam kerja institusinya. Sebagai organisasi, sekolahpun memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda aktivitasnya.
Weber dalam Robinson (1986) mengidentifikasi enam prinsip birokrasi, yakni :
1) Aturan dan prosedur yang tetap dengan mana birokrat menyelesaikan tugasnya.
2) Hierarki jabatan yang dikaitkan dengan struktur pimpinan.
3) Arsip yang mendokumentasikan tindakan yang diambil.
4) Pendidikan khusus bagi berbagai fungsi dalam birokrasi.
5) Struktur karir yang dapat diidentifikasikan.
6) Metode-metode yang tidak bersifat pribadi dalam berurusan dengan pegawai dank lien dalam birokrasi.
Keenam prisip tersebut diatas dapat kita jumpai dalam organisasi sekolah , walaupun sekolah memang tidak menggunakan semua prinsip Weber diatas secara ketat dan linier. Bidwell dalam Robinson (1986) berpendapat bahwa sekolah memiliki ciri ”struktur yang longgar”. Hal tersebut dapat diartikan bahwa tiap pendidik mempunyai kebebasan tertentu untuk menentukan bagaimana dapat mengajar di kelas, walaupun perangkat materialnya telah ditentukan oleh kurikulum diatasnya. Dalam hal ini secara spesifik sekolah sebagai organisasi memiliki penekanan dan kekhasan sendiri dalam aplikasi sebagai prinsip yang relevan seperti yang diungkapkan Weber.
Menurut Reinhard Bendix, 1960 dalam Robinson (1986) organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip yaitu sebagai berikut.
1) Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan;
2) Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif;
3) Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari suatu hierarki wewenang;
4) Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas;
5) Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan; dan
6) Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumentasi tertulis.
Beberapa prinsip birokrasi tersebut diterapkan dalam komposisi peran dan tugas pada masing-masing warga di sekolah. Semuanya disusun menjadi satu susunan struktur kepemimpinan birokratis di mana kepala sekolah menempati pucuk pimpinan formal.
Ravik Karsidi (2007) mengungkapkan secara sederhana sekurang-kurangnya ada 4 jenis sasaran organisasi sekolah, di mana akan kita dapatkan pengertian yang cukup lengkap tentang kompleksitas organisasi sekolah.
1) Sasaran formal.
Ruang lingkup sasaran ini meliputi tujuan formal dari sebuah organisasi. Wujud dari sasaran ini tercantum dalam aturan-aturan tertulis, konstitusi dan segala ketentuan formal yang melandasi orientasi organisasi.
2) Sasaran informal.
Merupakan interpretasi dan modifikasi sasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibat langsung pada wadah organisasi. Sasaran ini mencakup pula persepsi masing-masing individu dan menjadi tujuan kegiatan pribadi di dalam organisasi.
3) Sasaran ideologis.
Sasaran ini menyangkut seperangkat sistem eksternal atau sistem nilai yang diyakini bersama. Sasaran ini menyoroti pengaruh interaktif kultur-ideologis yang dianut oleh sebagian besar manusia dalam menangkap, menyikapi dan merespon eksistensi organisasi. Masyarakat kita memiliki semangat yang tinggi untuk meraih prestasi vertikal, sementara sekolah merupakan wadah yang cukup strategis bagi manusia untuk menopang ambisi mobilitas vertikalnya. Maka bisa diasumsikan hampir sebagian besar warga sekolah maupun masyarakat akan mengarahkan keyakinan kultural tersebut dalam memaknai keberadaan sekolah
4) Sasaran-sasaran lain yang kurang begitu kuat.
Penekanan sasaran ini akan menonjol pada suatu proses aktivitas organisasi yang tengah mempertahankan eksistensinya dalam situasi di luar kondisi biasa. Berkurangnya pendaftaran di sekolah-sekolah dan universitas dapat merubah secara luas peran para guru atau organisasi ruang sekolah, termasuk rasio guru terhadap siswa beserta kelas-kelas yang terspesialisasi. Jika tidak, maka sejumlah besar guru akan terancam menganggur.

Keempat sasaran atau pandangan organisasi tersebut mengisyaratkan suatu pola pandangan yang berbeda dari pandangan umum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan sekadar tumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis serta jalur-jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Mekanisme tersebut mengalami dinamika aktualisasi melalui aneka ragam penafsiran para anggota yang melatarbelakangi perilaku manusia dalam mengemban peran dan status yang berbeda-beda di dalam organisasi sekolah (Karsidi.2007)
3. Sekolah Sebagai Sistem Sosial
Sebagai suatu sistem, sekolah memiliki beberapa komponen yang terdiri dari : input, raw input, proses, output, dan outcome. Komponen tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena merupakan satu kesatuan yang utuh yang saling terkait, terikat, mempengaruhi, membutuhkan dan menentukan. Perubahan satu komponen saja akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya.
Input sekolah adalah segala masukan yang dibutuhkan sekolah untuk terjadinya pemprosesan guna mendapatkan output yang diharapkan. Input merupakan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat suatu generasi yang disebut sebagai manusia seutuhnya. Input sekolah antara lain manusia (man), uang (money), material/bahan-bahan (materials), metode-metode (methods), dan mesin-mesin (mechine).
Manusia yang dibutuhkan sebagai masukan bagi proses pendidikan adalah siswa sebagai bahan utama atau bahan mentah (raw input). Untuk menghasilkan manusia seutuhnya diperlukan input manusia yang memiliki potensi untuk dididik, dilatih, dibimbing, dan dikembangkan menjadi manusia seutuhnya. Input dapat dikategorikan menjadi dua yaitu input sumberdaya, dan input manajemen atau kepemimpinan. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya (kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya). Sedangkan sumber daya lainnya meliputi uang, peralatan, perlengkapan, bahan, bangunan, dan lain sebagainya. Sedangkan input manajemen adalah input potensial bagi pembentukan sistem yang efektif dan efisien.
Komponen masukan (raw input), adalah kualitas siswa yang akan mengikuti proses pendidikan. Kualitas tersebut dapat berupa potensi kecerdasan, bakat, minat belajar, kepribadian siswa, dan sebagainya.
Menurut Komariah & Triatna, 2005:5, proses penyelenggaraan sekolah adalah kiat manajemen sekolah dalam mengelola masukan-masukan agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan (output sekolah). Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Proses berlangsungnya sekolah pada intinya adalah berlangsungnya pembelajaran, yaitu terjadinya interaksi antara siswa dengan guru yang didukung oleh perangkat lain sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Sekolah sebagai suatu sistem, seharusnya menghasilkan output yang dapat dijamin kepastiannya. Output dari aktivitas sekolah adalah segala sesuatu yang kita pelajari di sekolah, yaitu seberapa banyak yang dipelajari dan seberapa baik kita mempelajarinya. Apa yang kita pelajari bisa berupa pengetahuan kognitif, ketrampilan dan sikap-sikap. Output sekolah yaitu berupa kelulisan siswa. Output sekolah berfokus pada siswa, tetapi siswa yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan.
Jika ditinjau dari sudut lulusan, output sekolah adalah lulusan yang berguna bagi kehidupan, yaitu lulusan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan lingkungannya. Artinya, lulusan semacam ini mencakup outcome, hasil dari investasi pendidikan yang selama ini dijalani siswa untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat. Outcome pada pendidikan dasar dan menengah adalah siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan jika ia tidak melanjutkan maka dalam kehidupannya dapat mencari nafkah dengan bekerja kepada orang lain atau mandiri, hidup layak, dapat bersosialisasi, dan bermasyarakat.
Komariah & Triatna (2004:75) menyebutkan sekolah efektif sebagai sekolah yang menetapkan keberhasilan pada input, proses, output dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya komponen-komponen sistem tersebut.
Salah satu konsep perbaikan input, proses, dan output adalah TQM (Total Quality Manajemen). TQM diartikan sebagai manajemen kualitas secara total dimana merupakan suatu pendekatan yang sistematis, praktis, dan strategis bagi penyelenggaraan pendidikan yang mengutamakan kepuasan pelanggan yang bertujuan meningkatkan mutu (Sallis, 1993:35 dalam Komariah & Triatna, 2004:29)
Lebih dari itu, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat hubungan mapan, interaksi, konfrontasi, konflik, akomodasi, maupun integrasi yang menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab itu, di dalam sekolah akan selalu mengandung unsur-unsur dan proses-proses sosial yang kompleks seperti halnya dinamika sosial masyarakat umum .
Beberapa unsur tersebut memproduk konsep-konsep sosial di dalam sekolah yaitu :
1) Kedudukan dalam Sekolah
Sekolah, seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota dalam lingkungannya. Setiap orang di dalam sekolah memiliki persepsi dan ekspektasi sosial terhadap kedudukan atau status yang melekat pada diri warga sekolah. Disana kita memiliki pandangan tentang kedudukan kepala sekolah, guru-guru, staf administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi hubungan ideal antarbermacam kedudukan tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat Weber (dalam Robinson, 1986)
a) Kedudukan berdasarkan jenis kelamin
b) Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga,
c) Kedudukan berdasarkan usia.
d) Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah.
2) Interaksi di Sekolah
3) Klik Antar Siswa
Klik-klik yang muncul di sekolah beragam wujudnya, tergantung pada perbedaan murid. Ada kemungkinan terbentuknya kelompok berdasarkan kesukuan dari kalangan siswa satu daerah atau karena mereka merupakan mioritas. Ada kelompok “elite” yang terdiri atas anak-anak orang kaya atau menunjukkan prestasi akademis tinggi dan kepribadian tinggi. Adapula kelompok rendahan, yang berasal dari keluarga tidak berpendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi, Haji. 2011. Sosiologi Pendidikan : Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Ravik Karsidi. 2007. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS & UNS Press
Robinson, Philip.1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta; Rajawali
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Grafiti Pers
Aan Komariah & Cepi Triatna. 2005. Visionary leadership: Menuju sekolah efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Sunarto, Kamanto.1993. Pengantar Sosiologi, Jakarta; Lembaga Penerbit FEUI.
http://id.wikipedia.org/wiki/sekolah, diunduh tanggal 18 Maret 2012

Read Full Post »

KONFLIK-KONFLIK BERKESINAMBUNGAN/ JANGKA PANJANG
Tantangan utama bagi banyak penulis untuk menjabarkan makna kesinambungan adalah banyak tulisan dan kelompok-kelompok tertentu yang hanya bisa menagkap satu masalah terkait. Yang memicu hal ini datangnya dari diskusi yang dipusatkan pada subjek kesinambungan dan Corporate Soscial Responcibility (CSR) atau tanggung jawab kerjasama social.
CSR menjadi suatu focus utama yang membuat kesinambungan masuk dalam level bawah. Konsep sustainability dulunya adalah ide sensitive untuk melindungi sumber-sumber, menjadi kata-kata ampuh untuk NGO dalam mencari dukungan. Misalnya program perumahan jangka panjang, tidak dapat dianggap sebagai program berkesinambungan, karena lahan hutan yang akan dipakai untuk perumahan itu.
Sustainable aslinya bermakna ‘mampu bertahan/tahan lama’, tapi akhir-akhir ini bermakana’mampu ditunda/ ditunggu’. Lingkungan dan pemerintah merupakan dua hal penting yang tidak dapat dipisahkan dalam program berkesinambungan.
Komunitas sosial seperti manusia berhubungan langsung dengan perdagangan dan lingkungan. Komunitas menyediakan baik pembeli maupun sumber-sumber untuk memenuhi tujuan bisnis.

Produksi
Bisnis Distribusi seluruh komunitas
Konsumsi
Tiga kelompok utama dalam pasar :
1. Organisasi yang meliputi perdagangan, pabrik, servis operasi, dll.
2. Komunitas pembeli dan peng-konsumsi
3. Pemerintah
Model sederhana yang mencerminkan kemudi pembeli adalah
1. Harga
2. Delivery / pengantaran permintaan konsumen
3. Jumlah
Proses memproduksi dan mengantarkan permintaan konsumen menyebabkan organisasi melebarkan bisnis dan operasinya.
Pemerintah beroperasi memberikan jangka waktu yang relative singkat untuk mendirikan rangka-rangka peraturan dan menyediakan pelayanan pada masyarakat.
Lingkungan lebih nyata berhubungan dengan semua wajah-wajah dalam sector masyarakat misalnya, pemanasan global, bencana alam, eksploitasi alam.
Sumber-sumber planet bumi meliputi :
1. Tidak ada dunia lain selain bumi
2. Konsumsi dapat dengan mudah didaur ulang
3. Evolusi perkembangan dunia dan teknologi
Masalah-masalah lain:
1. Sampah industri
2. Globalisasi; menyebabkan perubahan social, integrasi budaya, eksploitasi yang berlebihan
3. Polusi; sumberutama hasil eksploitasi industry ( CO2)
Pasar dunia membuka kesempatan lebih suap dan korupsi, sehingga menyebabkan konflik yang menuntut agenda berkesinambungan. Perkembangan teknologi, revolusi industry juga sebagai pemicu konflik.
Pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak peraturan. Pemenang biasanya adalah pengacara dan akuntan, sedangkan yang kalah biasanya adalah pengusaha-pengusaha kecil
Kesinambungan dunia yang berkesinambungan ada ditangan pialang saham. Menuju ke dunia bisnis investasi. Komunitas bisnis mulai mengambil keuntungan dengan mengabaikan fakta-fakta dan hak-hak hokum, hasilnya CSR akan lebih berorientasi pada profit daripada jangka panjang. Perubahan ini akan menimbulkan konflik.
Sebagai agenda yang berkepanjangan harus bergerak lebih cepat, membangun hubungan yang cepat dengan mempromosikan pendekatan berkesinambungan, misalnya program FTSE4Good mengenai masalah-masalah yang dilaporkan organisasi yang mendukung program berkesinambungan. Peraturan yang ketat akan membuat lebih banyak konflik dan ketidakpercayaan.
Inilah tantangan dunia bisnis untuk menciptakan lingkungan da kounitas stabil, sehingga bisa mendapatkan keuntungan jangka panjang.
____________________________________________________
Hawkins, David E.2006. Corporate Social Responsibility (Balancing Tommorrow’s Sustainability and Today’s Profitability). New York: Palgrave Macmillan. Chapter 1

Read Full Post »